Jumat 07 Aug 2020 00:30 WIB

Studi Ini Sorot Hollywood yang Sensor Filmnya untuk China

Film yang disensor untuk tayang di China dinilai berefek panjang terhadap kebebasan.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Film yang disensor untuk tayang di China dinilai berefek panjang terhadap kebebasan berekspresi film Hollywood (Foto: ilustrasi Hollywood)
Foto: www.freepik.com
Film yang disensor untuk tayang di China dinilai berefek panjang terhadap kebebasan berekspresi film Hollywood (Foto: ilustrasi Hollywood)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Organisasi nirlaba Pen America merilis sebuah laporan yang  memperingatkan tentang efek jangka panjang penyensoran terhadap kebebasan berekspresi. Studi secara khusus menyoroti keputusan perusahaan produksi Hollywood melakukan sensor pada film yang tayang di China.

Pen America yang berkecimpung di bidang sastra dan hak asasi manusia, memaparkannya dalam laporan setebal 94 halaman. Organisasi merinci kasus di mana deretan studio dan sineas mengubah karakter, plot, dialog, atau latar cerita dalam upaya menghindari pertentangan dengan pemerintah China.

Baca Juga

Penulis utama laporan, James Tager, menyadari kontrol ketat pemerintah China atas perbedaan pendapat, pemikiran independen, dan kreativitas di negaranya. Wakil direktur penelitian dan kebijakan kebebasan berekspresi di Pen America itu khawatir keputusan Cina membentuk tontonan audiens global.

"Perpanjangan tangan penyensoran Cina yang didukung oleh insentif ekonomi yang luas telah menjangkau jauh ke Hollywood, membentuk persepsi, menanamkan kepekaan, dan membangun kembali batasan dari apa yang dapat ditunjukkan, dikatakan, dan diceritakan," kata Tager.

 

Melalui lusinan wawancara dan studi kasus, tim penulis menunjukkan banyak perubahan yang dipaksakan pada film sebelum rilis ke pasar Cina yang menguntungkan. Misalnya, penghapusan konten LGBT dari Bohemian Rhapsody, Star Trek: Beyond, Alien: Covenant, dan Cloud Atlas.

Adegan pembunuhan massal orang-orang Cina dihilangkan dari Skyfall dan Mission: Impossible III. Begitu pula salah satu karakter utama di Doctor Strange yang diubah dari Tibetan menjadi Celtic, demi menghindari risiko berkonflik atau tidak diterima miliaran penonton Cina.

Pada 2019, film-film AS menghasilkan lebih dari 2,6 miliar dolar AS di Cina. Beberapa di antaranya seperti Avengers: Endgame, Spider-Man: Far from Home, dan Fast & Furious Presents: Hobbs & Shaw, meraup lebih banyak uang di Cina daripada di AS.

Profesor ilmu politik dan hubungan internasional di University of Southern California, Stanley Rosen, turut menyampaikan pandangannya dalam laporan itu. Dia mengatakan bahwa pemerintah Cina selalu memperhatikan segala sesuatu yang memiliki komponen Cina di dalamnya. 

"Jangan berpikir bahwa jika sineas membuat sesuatu yang tidak ditujukan untuk Cina, misalnya film indie yang hanya diperuntukkan bagi pasar kecil, itu tidak akan diperhatikan Cina dan tidak akan merugikan film blockbuster.  Itu pasti akan terjadi," tuturnya.

Perilisan laporan hadir setelah pemerintah AS secara terbuka mengkritik Hollywood karena tunduk pada intervensi Cina, juga menyalahkan studio karena menyensor atau menghentikan proyek-proyek yang berpotensi sulit. Jaksa agung William Barr turut mengomentari hal itu Juli silam.

"Banyak skrip mengalami penolakan karena penulis dan produser tahu untuk tidak melampaui batas. Sensor pemerintah Cina tidak perlu banyak bertindak karena Hollywood melakukan pekerjaan tersebut untuk mereka.  Ini adalah kudeta propaganda besar-besaran oleh Partai Komunis Cina," ujar Barr.

Laporan merekomendasikan agar studio Hollywood berkomitmen membagikan informasi kepada publik tentang semua permintaan sensor yang diterima dari regulator pemerintah untuk film mereka. Pada Juni, Richard Gere ikut memperingatkan Senat AS mengenai bahaya membiarkan Cina mengontrol konten. 

"Kombinasi penyensoran ditambah dengan keinginan studio film Amerika untuk mengakses pasar Cina, dapat mengarah pada penyensoran sepihak dan mengabaikan masalah sosial yang pernah diusung oleh film-film hebat Amerika," kata Gere, dikutip dari laman The Guardian, Kamis (6/8).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement