Jumat 07 Aug 2020 00:41 WIB

Dinilai Lamban di Kasus Firli, Dewas KPK tak Mau Gegabah

Dewas KPK belum menjatuhkan putusan soal dugaan pelanggaran etik Firli Bahuri.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Dewan Pengawas (Dewas) KPK Syamsuddin Haris
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Dewan Pengawas (Dewas) KPK Syamsuddin Haris

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK), Syamsuddin Haris mengklaim pihaknya bekerja secara profesional. Ia pun menegaskan Dewas KPK tidak bekerja berdasarkan dorongan pihak luar.

“Seperti pernah saya sampaikan, Dewas bekerja profesional. Kami tak mau gegabah dan tergesa-gesa,” ujarnya saat dikonfirmasi, Kamis (6/8).

Baca Juga

Terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua KPK, Firli Bahuri, Haris memastikan pihaknya tak akan bekerja sembrono dalam memutuskan pelanggaran etik tanpa fakta. Haris menegaskan, pihaknya juga membutuhkaan bukti-bukti dan keterangan pendukung yang cukup.

“Dewas tidak akan begitu saja menetapkan seseorang melanggar etik tanpa fakta, bukti, dan keterangan pendukung yang cukup. Penetapan seseorang melanggar etik atau tidak harus melalui persidangan etik. Jadi bersabarlah,” tegas Haris. 

Karena itu, ia tak mempermasalahkan bila Dewas dianggap lamban. Menurutnya, kritik masyarakat merupakan kontrol sosial yang membangun. 

“Jika ada pihak yang menilai Dewas bekerja lamban dalam menangani laporan dugaan pelanggaran etik, ya silakan saja. Apapun kritik publik tentu harus kami terima sebagai masukan untuk perbaikan kinerja Dewas dan KPK pada umumnya ke depan,” tegasnya.

Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai Dewas KPK lamban dalam memproses dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Ketua KPK Firli Bahuri. Penilaian tersebut masuk dalam empat catatan ICW terhadap enam bulan kinerja Dewas KPK.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, tindakan Firli yang menggunakan helikopter mewah dalam perjalanan dari Baturaja menuju Palembang, Sumatera Selatan jelas merupakan pelanggaran etik. Bahkan, tindakan Firli itu bisa masuk ke ranah hukum pidana.

"Secara kasat mata, tindakan Firli tersebut sudah dapat dipastikan melanggar kode etik, karena menunjukkan gaya hidup hedonisme. Bahkan lebih jauh, tindakan Firli juga berpotensi melanggar hukum jika ditemukan fakta bahwa fasilitas helikopter itu diberikan oleh pihak tertentu sebagai bentuk penerimaan gratifikasi," ujar Kurnia dalam keterangannya, Kamis (6/8).

"Namun Dewas sampai saat ini tidak kunjung menjatuhkan putusan terkait dugaan pelanggaran tersebut," tambah Kurnia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement