Rabu 05 Aug 2020 19:57 WIB

Kashmir: Setahun Terkunci dan Kehilangan Otonomi

Setahun lalu Pemerintah India mencabut status khusus semi-otonomi Jammu dan Kashmir.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Reuters/A. Abidi
Reuters/A. Abidi

Setahun pasca Pemerintah India mencabut status semi-otonom Jammu dan Kashmir, masyarakat di kawasan itu masih hidup di bawah pemberlakuan jam malam, penguncian wilayah dan pembatasan komunikasi. New Delhi mengatakan langkah-langkah itu diperlukan untuk menjaga keamanan di wilayah konflik tersebut.

Baru-baru ini, banyak keluarga dikurung di dalam rumah mereka akibat pandemi COVID-19. Pada pekan ini, pihak berwenang memberlakukan jam malam selama dua hari di Srinagar karena dikhawatirkan munculnya aksi protes dengan kekerasan. Tetapi kebijakan jam malam dicabut pada Selasa (4/8), setelah pemerintah kota memastikan tidak ada insiden besar.

Pemerintah India mendesak para politisi lokal untuk tetap berdiam di rumah dan meningkatkan keamanan di jalan-jalan kota utama Kashmir, Srinagar pada hari Rabu (5/8) untuk mencegah aksi unjuk rasa pada hari peringatan pencabutan otonomi daerah Himalaya itu oleh pemerintah di New Delhi.

Banyak warga Kashmir menganggap kebijakan itu sebagai bagian dari kampanye penindasan sistematis dari pemerintah nasionalis Hindu India.

Pemerintah India melucuti Jammu dan Kashmir, satu-satunya negara dengan mayoritas Muslim dari hak-hak istimewanya pada tanggal 5 Agustus tahun lalu dan dibagi menjadi dua wilayah yang dikelola pemerintah federal dari Perdana Menteri Narendra Modi, dengan argumen untuk mendekatkan kawasan itu ke bagian lain dan memacu perkembangannya.

Kashmir diklaim sepenuhnya oleh India dan Pakistan, yang telah berperang dua kali untukklaim kawasan itu, dan keduanya menguasai sebagian wilayah Kashmir. Bagian India, yang telah menikmati otonomi selama beberapa dekade, telah diganggu oleh kekerasan separatis sejak akhir 1980-an. Perubahan status di bagian India, yang ditolak sebagian besar warga Kashmir, disertai dengan pemadaman komunikasi, pembatasan yang meluas dan penahanan massal, termasuk para pemimpin terpilih.

Kelumpuhan politik

Politisi muda dari Partai Demokrasi Rakyat (PDP) Kashmir, Waheed Ahmad Para ditahan selama enam bulan akibat protes kerasnya menentang langkah New Delhi. Selain Para, mantan menteri utama Jammu dan Kashmir, Mehbooba Mufti dan Omar Abdullah juga ikut ditahan.

Penahanan mereka dilakukan di bawah Undang-Undang Keamanan Publik India (PSA), yang memungkinkan seseoarng ditahan hingga satu tahun ke depan tanpa jaminan atau proses pengadilan.

Kelompok Warga Peduli, sebuah organisasi aktivis yang dipimpin oleh mantan Menteri Keuangan India Yashwant Sinha menuntut pembebasan para politisi Kashmir itu.

"Kami menemukan bahwa tindakan New Delhi telah menyebabkan kejutan, trauma, dan penghinaan di antara penduduk setempat [di Kashmir]. Kemarahan yang membara atas ketidakberdayaan mereka tetap ada," kata Sinha kepada DW.

Berbicara kepada DW, Para menggambarkan penahanan itu sebagai "penghinaan pribadi," dan mengatakan penindasan pemerintah India terhadap para pemimpin lokal mengakibatkan "kelumpuhan politik" di wilayah tersebut.

"Banyak yang terjadi dan kami tidak dapat melakukan apa-apa, berbicara atau menentang," katanya di Srinagar, menambahkan bahwa Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa di India tidak memiliki banyak dukungan politik di Kashmir.

Perekonomian yang anjlok

Perdana Menteri India Narendra Modi menegaskan bahwa pencabutan status khusus diperlukan untuk menghentikan konflik dan meningkatkan pembangunan ekonomi di Kashmir.

Meskipun New Delhi mengklaim kemajuan ekonomi telah terjadi di Kashmir selama setahun terakhir, Sheikh Ashiq, Presiden Kamar Dagang dan Industri Kashmir, mengatakan kepada DW bahwa wilayah tersebut mengalami kerugian senilai lebih dari € 4,5 miliar (Rp 77,5 triliun) selama setahun lalu.

"Jumlah ini adalah perkiraan kasar kami. Satu demi satu penguncian wilayah telah menyebabkan hampir 500.000 orang menganggur, yang merupakan kekhawatiran terbesar kami. Kami berada pada titik di mana kami tidak memiliki kapasitas keuangan sekarang," kata Sheikh, menambahkan krisis ekonomi separah itu belum pernah terjadi sebelumnya.

"Ada keresahan di masa lalu juga, tetapi situasi ini aneh. Kami telah mencapai titik di mana kami benar-benar hancur," katanya.

Para juga berbagi pandangan yang serupa. "Selama setahun terakhir tidak ada pembangunan, tidak ada kegiatan ekonomi, tidak ada pariwisata," katanya. "Kamu tidak akan pernah bisa memenangkan dukungan populasi dengan menahan dan mengalahkan mereka."

Keamanan rapuh

Selama setahun terakhir, pemerintah PM Modi juga telah mengesahkan banyak undang-undang baru yang menurut penduduk setempat bertujuan untuk menggeser demografi di wilayah mayoritas Muslim.

Sementara itu, pasukan militer telah meningkatkan operasi kontra-pemberontakan dalam beberapa bulan terakhir. Bentrokan pada paruh pertama tahun ini saja, telah menewaskan 229 orang, termasuk 32 warga sipil, lapor kantor berita AFP. 283 orang yang terbunuh pada tahun 2019 merupakan jumlah korban tertinggi selama satu dekade.

Namun, seorang pejabat senior di Pasukan Keamanan Perbatasan India, yang ingin tetap anonim, mengatakan kepada DW bahwa situasi keamanan di wilayah itu "lebih baik dari sebelumnya," dengan mengutip data penurunan jumlah pemuda lokal yang bergabung dengan kelompok ekstrimis pro-separatisme. (ha/as)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement