Rabu 05 Aug 2020 05:49 WIB

Fransiska Sesiati, Sembuh dari Penyakit Usai Bersyahadat

Fransiska Sesiati mengalami kesembuhan setelah sungguh-sungguh jalani Islam.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Nashih Nashrullah
Fransiska Sesiati menemukan kesembuhan dari penyakit usai bersyahadat
Foto: Dok Istimewa
Fransiska Sesiati menemukan kesembuhan dari penyakit usai bersyahadat

REPUBLIKA.CO.ID, Fransiska Sesiati menuturkan perjalanan panjangnya dalam menemukan kebenaran, hingga akhirnya menerima Islam. Perempuan yang kini berusia 50 tahun itu mengaku, ada banyak ujian kehidupan yang harus dilalui sebelum menjadi mualaf. 

Dia memiliki keluarga berlatar belakang non-Muslim. Namun, jauh sebelumnya mereka sesungguhnya pernah memeluk Islam. Ceritanya bermula sejak ayah kandungnya meninggal dunia. Ibunya kemudian menikah lagi dengan seorang pria Muslim. Namun, rumah tangga yang terbina tidak bertahan lama. Sang ibu lantas bercerai dan menikah lagi. Kali ini, pasangannya adalah seorang non-Muslim. 

Sebagaimana sang ibu, Fransiska dan saudaranya pun mengikuti agama ayah tirinya itu. Sewaktu menjadi non-Muslim, kenang Fransiska, dirinya mungkin termasuk orang yang taat beragama. Wanita asal Blitar itu bahkan aktif di berbagai kegiatan religius.

Kehidupannya mulai berubah saat merantau ke Jakarta. Waktu itu, Fransiska telah lulus dari sekolah. Tujuannya mengadu nasib ke Ibu Kota ialah demi mendapatkan pekerjaan tetap. Ketika menetap di Jakarta, Fransiska tetap gemar beribadah. Malahan, dia memiliki perkumpulan sendiri. 

Namun, sekitar 1990-an, dokter mendiagnosis dia menderita suatu penyakit. Sayang sekali, sudah berkali-kali berobat, Fransiska saat itu tidak kunjung sembuh. Uang hasil bekerja pun tidak dapat dinikmatinya utuh. Sebab, obat-obatan mesti ditebusnya dengan biaya tak murah.  

Fransiska sering bertemu dengan teman-teman. Kepada mereka, dia curhat tentang penyakitnya. Seorang kawan lantas menuturkan pengalaman rohaninya sebagai Muslim. Yang dia rasakan, perbanyak ibadah dapat membawa ketenangan batin, dan perasaan itulah yang men dukung pemulihan penyakitnya. 

Kala itu, Fransiska terkesan dengan penuturan kawannya tersebut. Bahkan, selama satu tahun dia merasa terpanggil untuk mengenal Islam, agama yang dianut si kawan. Setelah mempertimbangkan selama sekitar satu tahun, akhirnya Fransiska memutuskan untuk memeluk Islam. 

Hal itu dilakukannya sebagai ikhtiar demi menyembuhkan penyakitnya. Ketika itu, kenang Fransiska, dirinya belum sampai mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai tanda resmi sebagai Muslim. Dia baru sebatas meyakini dan meresapi ajaran-ajaran Islam dalam hati. 

Waktu terus bergulir. Fransiska berkenalan dengan seorang pria Muslim yang kini menjadi suaminya. Sebelum menikah pada awal 1993, Fransiska akhirnya menyatakan ikrar syahadat. Syahadat itu dilafalkannya dengan bimbingan seorang kiai, dengan dipersaksikan beberapa orang, termasuk kawannya dan jamaah.  

“Pada awalnya, saya memeluk Islam untuk kesembuhan penyakit saya. Alhamdulillah, penyakit saya sembuh dan tidak lagi kambuh,” ujar dia kepada Republika.co.id beberapa waktu lalu. Sejak menjadi Muslimah, dia banyak dibimbing suaminya. Khususnya dalam perkara ibadah wajib sehari-hari, Fransiska perlu waktu agar terbiasa. Dia mengaku bersyukur, lantaran sang suami dengan penuh kesabaran dan cinta terus membersamainya.  

“Untuk ibadah, baru saya pelajari dan jalani sungguh-sungguh setelah saya menikah. Alhamdulillah, dibimbing oleh suami saya,” kata dia. Dia mengingat, hal pertama yang menjadi fokusnya saat itu adalah belajar shalat lima waktu. Ketika itu, dia merasa cukup kesulitan. Bayangkan, untuk menghafal surat al-Fatihah saja dirinya memerlukan waktu enam bulan lamanya.  

Bahasa Arab dirasakannya terlalu sulit. Tidak hanya pelafalannya, melainkan juga tulisan yang menggunakan abjad non-Latin. Meskipun demikian, dia pantang menyerah. Sehari-hari, Fransiska mengulang dan terus mengulang hafalan al- Fatihah. Akhirnya, surat yang merupakan induk Alquran itu dapat dihafalkannya. 

Di samping kesukaran, selalu ada kemudahan. Salah satu hal yang memudahkannya ialah kebiasaan mengucapkan bacaan-bacaan Islami untuk rutinitas. Sebagai contoh, seorang Muslim dianjurkan untuk mengucapkan basmalah, bismil lahir rahmanirrahim, sebelum memulai kegiatan, seperti makan, minum, dan sebagainya. Menurut Fransiska, bacaan seperti itu bukanlah sesuatu yang baru baginya. Sebab, saat masih menjadi non-Muslim pun ia kerap mendengar kannya dari orang-orang terdekat.  

“Nenek saya dahulu beragama Buddha. Namun, karena tempat tinggal kami (dihuni) mayoritas Muslim, sehingga setiap melakukan se suatu terbiasa mengucapkan bismillah. Nah, saya pun terbiasa juga,” tutur dia. Fransiska mengenang, sejak kecil pun dirinya memiliki lebih banyak teman Muslim dibandingkan non-Muslim.  

Maka dari itu, berbagai ritual Islam bukanlah pemandangan yang aneh baginya. Dia biasa mendengar suara tilawah Alquran menjelang maghrib dari arah masjid terdekat. Begitu pula dengan suara azan dan iqamah. Ia pun rutin menyaksikan orang-orang berangkat bersama-sama ke masjid untuk menunaikan sholat berjamaah.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement