Selasa 04 Aug 2020 20:16 WIB

Kesantunan Berbahasa dalam Islam

Umat Islam harus mencontoh Rasulullah dalam pengamalan kesantunan berbahasa.

Kesantunan Berbahasa dalam Islam
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Kesantunan Berbahasa dalam Islam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di kalangan akademisi linguistik, istilah kesantunan berbahasa (politeness) mulai dikenal sejak hadirnya kajian pragmatik. Kesantunan berbahasa menjadi bagian dari objek kajian pragmatik. Pragmatik mulai berkembang di Eropa tahun 1940-an dengan tokohnya Charles Morris, sedangkan di Amerika berkembang tahun 1970-an dengan tokohnya Austin. Di Indonesia pragmatik baru dikenal sekitar tahun 1980-an.

Sementara itu, di kalangan umat Islam kesantunan berbahasa sudah diajarkan sejak Islam ditetapkan oleh Allah sebagai agama yang menyempurnakan agama sebelumnya, 14 abad yang silam. Dengan demikian, umat Islam di seluruh dunia telah lama mengamalkannya. Tentu, ada dinamika dalam pengamalannya.

Baca Juga

Eforia Reformasi di Indonesia

Reformasi di Indonesia secara resmi terjadi 21 Mei 1998, yakni sejak pergantian presiden dari Suharto ke Habibi. Sejak era reformasi, terjadi “eforia” dalam berbagai aspek kehidupan. Satu di antaranya terjadi pada aspek penggunaan bahasa untuk komunikasi, baik lisan maupun tulis. Lebih-lebih lagi, pada era digital sekarang ini: kesantunan berbahasa sepertinya hanya berlaku pada kalangan tertentu dan pada saat tertentu yang makin terbatas.

Sejak era reformasi, berbicara tidak santun atau kasar (dan kadang-kadang juga kotor) tidak hanya dilakukan oleh orang awam yang berpendidikan rendah, tetapi juga tokoh masyarakat Indonesia. Misalnya, dalam hubungannya dengan fungsi DPA, Gus Dur, ketika menjadi presiden, berpendapat bahwa semasa Habibi, DPA merupakan lembaga yang hanya dapat cuap-cuap.

Pendapat itu ditanggapi oleh orang berstatus social jauh lebih rendah dan berusia jauh lebih muda dengan tuturan, “Gus Dur justru lebih terampil dalam urusan cuap-cuap.” (Republika, 28 Februari 2000). Cuap-cuap bermakna ‘banyak bertutur.’ Kata cuap-cuap bernilai rasa kasar; tidak santun. Biasanya kata itu digunakan oleh penutur yang berstatus sosial dan berpendidikan rendah dan ditujukan kepada petutur yang berstatus sederajat pada situasi yang diwarnai emosi (marah/akrab).

Gus Dur pernah menggagas penghapusan Tap MPRS Nomor XXV/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme. Berkenaan dengan gagasan itu, ada orang yang berstatus sosial tinggi (tetapi di bawah presiden) dan berpendidikan tinggi menanggapi dengan kalimat “Itu alasan yang keblinger. Tampaknya Gus Dur keliru memahami masalah UUD ‘45.” (Republika, 29 April 2000). Kata keblinger dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia  dijelaskan maknanya ‘sesat, keliru.’ Dari nilai rasanya, kata keblinger bernilai rasa kasar, tidak santun. Apalagi, kata kebilnger digunakan oleh orang yang berstatus sosial lebih rendah kepada orang yang berstatus sosial lebih tinggi.

Beberapa tahun yang lalu ada gubernur yang sering memaki-maki dan mengumpat. Tentu dia menggunakan kata makian yang ditandai dengan nilai rasa kasar.

Menjelang pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI dan menjelang pilpres 2019 pelanggaran kesantunan berbahasa makin terasa. Ungkapan kasar bermunculan terutama di medsos. Cukup banyak di antara pengguna medsos yang saling mengejek. Karena mengejek, mereka tentu menggunakan kata-kata yang tidak sopan.

Masih ada lagi contoh kasus pelanggaran kesantunan bahasa, yakni penggunaan kata goblok oleh tokoh ormas Islam untuk menyebut orang berjanggut panjang. Kata goblok bernilai rasa kasar.

Ada lagi pelanggaran kesantunan berbahasa yang juga tidak kalah memprihatinkannya, yakni penggunaan kata-kata jorok atau membe­rikan ilustrasi de­ngan kata-kata yang berbau porno oleh “kiai” ketika memberikan tausiyah. Kita pun dengan mudah dapat menemukannya di med­sos.

 

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement