Rabu 05 Aug 2020 02:32 WIB

Jaringan Jadi Utama Kendala Belajar Daring di DIY

Kendala jaringan internet paling dirasakan di Kulonprogo dan Gunungkidul.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Indira Rezkisari
Peralatan belajar anak-anak siswa SD belajar bersama jalan kampung di Bintaran Kidul, Yogyakarta, Rabu (29/7). Layanan Internet Masyarakat (LIMas) memberikan kases internet gratis untuk anak-anak untuk mempermudah kegiatan belajar secara daring.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Peralatan belajar anak-anak siswa SD belajar bersama jalan kampung di Bintaran Kidul, Yogyakarta, Rabu (29/7). Layanan Internet Masyarakat (LIMas) memberikan kases internet gratis untuk anak-anak untuk mempermudah kegiatan belajar secara daring.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar Kebijakan Publik UGM, Agustinus Subarsono, melihat pendidikan jarak jauh secara daring selama pandemi Covid-19 masih sisakan banyak masalah bagi masyarakat. Di DIY saja, tidak semua pendidik, siswa dan orang tua siap.

Ia merasa, persoalan seperti disparitas teknologi antar rumah tangga maupun disparitas jaringan internet antar daerah masih banyak ditemukan. Bahkan, literasi teknologi guru dan orang tua yang bervariasi masih banyak terjadi.

Baca Juga

"Kendala yang banyak dihadapai dalam pembelajaran daring adalah jaringan internet," kata Subarsono, Selasa (4/8).

Hal itu didapati dari riset awal yang dilakukannya mengkaji penyelenggaraan pendidikan menengah di DIY selama masa pandemi Covid-19. Riset dilakukan ke 1.304 responden meliputi guru, siswa, orang tua tingkat SMP-SMA lima kabupaten/kota.

Survei via Google Form sejak 25 Juni-1 Juli 2020, diketahui tidak lancarnya jaringan internet jadi kendala utama penyelenggaraan pendidikan menengah di tengah pandemi. Bahkan, dikeluhkan mulai dari siswa, guru maupun orang tua.

"Lebih dari 50 persen responden mengeluhkan tentang jaringan ini terutama di Kulonprogo dan Gunungkidul," ujar Dosen Manajemen Kebijakan Publik Fisipol UGM tersebut.

Untuk mengatasinya, ia menyarankan pemerintah mau mengusahakan jaringan internet bisa diakses seluruh masyarakat Indonesia. Persoalan lain yang banyak dikeluhkan keterbatasan biaya untuk mengakses internet.

Selain itu, keterbatasan waktu orang tua dalam mendampingi anak saat ikuti pembelajaran jarak jauh. Sedangkan, keterbatasan keterampilan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi masih banyak dialami guru-guru.

Pasalnya, tidak semua guru familiar dengan teknologi yang digunakan ketika melaksanakan pembelajaran daring. Biasanya, semakin tua usia guru tersebut hambatan dalam pemanfaatan teknologi semakin besar. "Hambatan relatif lebih kecil dialami guru-guru yang berusia di bawah 35 tahun," ujar Subarsono.

Subarsono menyampaikan, dari survei terhadap siswa ditemukan fakta sebagian besar merasa kegiatan pembelajaran jarak jauh lebih sulit dari pembelajaran konvensional. Materi pembelajaran dinilai lebih sulit dari materi tatap muka.

"Sebagian besar siswa mengeluh bosan mengikuti pembelajaran daring dan lebih bersemangat mengikuti pembelajaran tatap muka," kata Subarsono.

Masih ada pula kesenjangan desain kebijakan dan operasional penyelenggaraan pembelajaran jarak jauh level pendidikan dasar menengah. Guna menjembatani, perlunya diperkuat kreativitas guru agar pembelajaran menarik dan memotivasi.

Selain itu, saat pandemi Covid-19 berakhirm Subarsono merekomendasikan pembelajaran jarak jauh untuk terus dilaksanakan. Serta, harus dimulai inovasi-inovasi pembelajaran agar dapat mengurangi beban siswa.

"Kebijakan pendidikan pembelajaran jarak jauh online dan offline sebagai alternatif masa new normal. Sementara, tatap muka dapat dimulai ketika lingkungan sekolah dinyatakan aman dan ada kesepakatan dengan pemangku kepentingan," ujar Subarsono.

Subarsono menambahkan, pandemi Covid-19 menciptakan tantangan dan kebutuhan inovasi pembelajaran dengan teknologi. Karenanya, kolaborasi antara sekolah dengan orang tua dalam pendidikan perlu diperkuat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement