Selasa 04 Aug 2020 18:46 WIB

Lailatul Qadar Hanya pada Bulan Ramadhan?

Ada yang berpendapat Lailatul Qadar ada sampai kiamat.

Rep: Syahruddin El Fikri/ Red: Muhammad Hafil
Lailatul Qadar Hanya di Bulan Ramadhan?. Foto: Ilustrasi Lailatul Qadar
Foto: Republika/mgrol101
Lailatul Qadar Hanya di Bulan Ramadhan?. Foto: Ilustrasi Lailatul Qadar

REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Banyak pendapat yang membahas masalah Lailatul Qadar. Semuanya merujuk pada keterangan bahwa peristiwa itu terjadi pada bulan Ramadhan saja. Namun, ada perbedaan di kalangan ulama mengenai waktunya. Ada yang menyatakan Lailatul Qadar telah berakhir sejak masa Rasulullah SAW, yakni dengan berhentinya turunnya wahyu. Tapi, ada pula yang berpendapat Lailatul Qadar ada sampai hari kiamat.

Dari beberapa keterangan yang ada, Lailatul Qadar selalu ada sampai hari kiamat dan ia hanya terjadi sekali dalam setahun, yakni pada bulan Ramadhan. Inilah pendapat jumhur ulama.

Baca Juga

Benarkah Lailatul Qadar itu hanya terjadi di bulan Ramadhan? Syekh Muhammad bin Shalih Utsaimin dalam kitabnya Majalis Syahr Ramadhan menegaskan, Lailatul Qadar itu hanya terjadi pada bulan Ramadhan. Hal ini diperkuat juga dengan pendapat lainnya yang merujuk pada hadis Nabi SAW.

Carilah ia (malam kemuliaan, red), pada malam-malam ganjil di akhir bulan Ramadhan. (HR Bukhari 4/225 dan Muslim 1169). Ibnu Katsir dalam tafsirnya juga menjelaskan demikian. Menurutnya, peristiwa itu terjadi pada bulan Ramadhan. Bahkan, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari juga menegaskan, pendapat yang kuat mengenai Lailatul Qadar itu adalah pada bulan Ramadhan.

Dalam sebuah riwayat, Rasul SAW mengetahui malam tersebut dan bermaksud menyampaikannya kepada umatnya. Sayangnya, di saat itu, ada dua orang yang berselih tentang Lailatul Qadar. Aku keluar untuk mengabarkan kepada kalian tentang Lailatul Qadar, tetapi si fulan berselisih sehingga dia pun diangkat oleh Allah. (HR Bukhari dari Ubadah bin Ash-Shamit, Muslim dari hadits Abu Said). Lihat juga dalam Al-Majmu’: 6/402 dan Asy-Syarhul Mumti’: 6/491).

Menurut Syekh Abdullah Al-Bassam dalam Taudhihul Ahkam (3/247), setidaknya ada empat pendapat mengenai masalah tersebut. Pertama, hanya ada di zaman Nabi SAW. Namun, pendapat dianggap batil. Kedua, malam itu adalah malam nisfu sya’ban. Namun, ini juga dianggap lemah.

Ketiga, pada 10 malam pertama Ramadhan. Dan keempat, pada 10 hari di malam terakhir Ramadhan. Inilah pendapat yang paling kuat.

Sekejap

Syekh Ali Al-Thanthawi, seorang ulama terkenal dari Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, dalam bukunya Menemukan Lailatul Qadar berpendapat, Lailatul Qadar tidak hanya terjadi pada bulan Ramadhan, tetapi juga bisa di bulan lain selain Ramadhan. Bahkan, ia bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, tak memandang ruang dan waktu.

Menurut Syekh Ali Al-Thanthawi, seseorang bisa saja mendapatkan Lailatul Qadar di saat orang tersebut sedang berada di kamar, di sebuah pub, karaoke, di jalan yang sepi, di jalan raya yang penuh pesona, ataubisa jadidi siang bolong (1993, 22-23).

Syekh Ali Al-Thanthawi menyontohkan peristiwa yang dialami Khalifah Umar bin Khattab RA sesaat sebelum masuk Islam. Banyak orang yang membaca dan mendengarkan surah Thaha [20] dan tak terhitung jumlahnya. Namun, mereka tak mengalami hal apa pun.

Akan tetapi, ketika Umar bin Khattab mendapat kesempatan yang sekejap itu yakni saat ia mendengar adiknya membaca surah Thaha tersebut hati Umar bergetar. Umar meyakini bahwa ayat-ayat yang dibacakan adiknya itu bukanlah ayat yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW, melainkan oleh Tuhan Yang Maha Agung.

Berawal dari kejadian yang sesaat itu, akhirnya mampu mengubah pribadi dan kehidupan Umar bin Khattab. Umar yang dahulunya kasarpernah melakukan dosa besar karena membunuh dan mengubur anak kandungnya sendiri dan yang datang untuk membunuh Rasulullah SAWkemudian berubah menjadi Umar yang genius, yang mampu memimpin sebelas negara seorang diri, menjadi hakim, pemimpin negara, dan menteri dalam negeri sekaligus badan pemeriksa keuangan (BPK). Sayyidina Umar telah sukses memimpin negara Islam di Madinah.

Meski besar pengaruhnya di dunia Islam, Umar rela membawa sekarung tepung di punggungnya, memasaknya untuk seorang fakir yang sedang kelaparan, dan memberi makan anak-anak si fakir tersebut.

Setiap harinya, Umar hanya makan roti dan minyak zaitun sebagai pemanisnya. Dan ketika ia tak mampu melayani kebutuhan rakyatnya, Umar pun selalu menangis. Ia adalah sosok pemimpin yang tegas dan menjadi salah satu dambaan setiap umat Islam.

Selain kisah di atas, Syekh Ali Thanthawi juga memberikan contoh lainnya.

Ketika seseorang sudah berputus asa dalam berusaha dan menuntut ilmu yang selalu gagal dan terus gagal. Suatu saat, ketika ia pergi ke hutan, hujan turun dengan lebatnya. Ia pun kemudian mencari tempat berteduh. Dan tanpa sengaja (sekejap), ia menyaksikan bagaimana bongkahan batu yang sangat keras dapat menjadi lunak dan berlubang karena tetesan air yang jatuh di atasnya.

Ia pun kemudian menjadi sadar bahwa suatu kegagalan pada akhirnya pasti akan menuai keberhasilan apabila dicoba terus-menerus tanpa kenal lelah. Seperti bongkahan batu tersebut yang memiliki sifat dasar keras dan kasar, ketika air yang lembut terus-menerus menetes di atasnya, batu itu pun akhirnya berlubang.

Menurut Syekh Ali Al-Thanthowi, dari waktu yang sekejap itulah sebuah hidayah datang dari Allah SWT. Ia menyebut dan menyerupakan hidayah Allah yang sesaat itu sebagai Lailatul Qadar karena mampu mengubah pribadi orang yang tersesat ke jalan lurus dan menjadikan pribadi yang kasar menjadi santun dan lembut.

Syekh Ali Thanthawi mengatakan, Lailatul Qadar adalah karunia Allah SWT, yang akan diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Tapi, hidayah Allah itu harus dicari. Seorang Muslim tidak boleh hanya berpangku tangan saja menanti hidayah itu.

Ada ungkapan bijak yang patut direnungkan. Seorang nelayan, jika ingin mendapat ikan, dia harus membentangkan jalanya terlebih dahulu. Penimba air harus menurunkan timbanya ke dalam sumur agar mendapatkan air. Pencari nafkah harus berusaha. Siapa yang ingin mendapatkan air, dia harus datang ke sumber air atau sungai, bukan pergi ke padang pasir atau tanah yang tandus.

Demikian pula siapa yang ingin mendapatkan lahdzat tajalli (kesempatan untuk bersama-sama Allah) dalam waktu Lailatul Qadar ini, ia harus mencarinya dengan jalan berteman dengan orang-orang saleh, mendengarkan penuturan mereka, serta mengikuti jejak dan langkah mereka.

Ia harus mencarinya di Masjid, di mushala, yang menampung orang shalat, berzikir, dan membaca Alquran serta menuntut ilmu. Dia harus mencarinya dengan shalat malam, di tengah kegelapan malam, di saat orang-orang sedang terlelap tidur dengan bermunajat kepada Allah SWT, di waktu sahur saat jajaran malaikat bergerak mengikuti perintah Allah, kata Ali Thanthawi.

Ia menambahkan, semua orang mengetahui bahwa gelombang suara itu ada di mana-mana, tapi dia tidak bisa mendengarnya kecuali dengan piranti penyadap atau alat perekam yang super canggih. Begitu juga dengan Lailatul Qadar, ia ada di setiap tempat. Tapi, kita tidak akan bisa menjumpainya kecuali dengan hati yang jernih dan benar-benar tulus ikhlas karena Allah, tegasnya.

Di sinilah segala kenikmatan dunia menjadi tiada artinya ketika dapat berjumpa dengan Allah serta merasakan kenikmatan rohani dan jiwa yang sangat luar biasa. Kenikmatannya tak terbayangkan dan tak mungkin dapat digambarkan dalam kehidupan nyata.

Kenikmatan inilah yang membuat orang menjadi gila (zawq, dalam istilah sufi) karena kenikmatan seperti inilah yang diidamkan oleh setiap jiwa untuk kemudian mereguknya. Kenikmatan rohani inilah yang sempat membuat Ibnu Rumi mengadu merasa kehilangan. Padahal, pada saat itu, ia sedang menikmati kebahagiaan dengan sang kekasih.

Karena itu, kata Syekh Ali Thanthawi, Lailatul Qadar hendaknya senantiasa dicari pada setiap tempat dan waktu demi mendekatkan diri kepada Allah. Wallahu A’lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement