DPR Pertanyakan Keseriusan Kejagung Tangani Kasus DT

Kejagung seharusnya merupakan lembaga yang aktif mengawasi Djoko Tjandra.

Selasa , 04 Aug 2020, 09:49 WIB
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil
Foto: ROL/Havid Al Vizki
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil mempertanyakan keseriusan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menangani kasus Djoko Tjandra. Paslnya, Kejagung terlihat pasif dalam penanganan terpidana kasus korupsi hak tagih Bank Bali tersebut.

Menurut dia, Kejagung seharusnya merupakan lembaga yang aktif mengawasi Djoko Tjandra. Dia lantas membandingkan dengan langkah Kejagung saat menangkap terpidana kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono.

"Dulu waktu masa Pak Pras (HM Prasetyo) kan Samadikun (Hartono) seingat saya dulu dijemput. Makanya, Pak Pras sendiri datang ke Halim, sekarang kenapa tidak," kata Nasir saat dikonfirmasi, Selasa (4/8).

Dia mengungkapkan, Kejagung juga tidak pernah membahas soal Djoko Tjandra selama rapat dengar pendapat dengan DPR. Namun, dia tidak mengetahui alasan Kejagung tidak melakukan hal tersebut.

Nasir menduga ada berbagai penyebab Kejagung pasif dalam menangkap Djoko Tjandra. Meski tidak membeberkan secara rinci, dia mengatakan, hal tersebut dapat digali dari Menkopolhukam Mahfud MD.

"Kita tidak tahu itu dilibatkan dari awal atau tidak, cuma memang betul (terkesan pasif). Dulu memang waktu Samadikun dijemput ada Pak Pras, saya juga bertanya seperti itu, sekarang kok tidak ada unsur jaksa," ujar Nasir.

Di sisi lain, Nasir mengakui, bahwa polisi memiliki sumber daya dalam menindak pelaku tindak pidana. Sehingga, dia menduga, kepolisian paling mobile dalam menangkap Djoko Tjandra.

"Jadi memang yang bisa mobile polisi, menurut saya bisa kita pahami kalau kemudian jaksa atau kejaksaan tidak aktif," ujarnya.

Mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Chairul Imam sebelumnya mengatakan Kejagung kecolongan dengan pelarian Djoko Tjandra. Dia menilai, salah satu aspek yang menyebabkan kecolongan itu lantaran lemahnya intelijen di kejaksaan.

Dia menilai, Kejagung seharusnya dapat terus memantau pergerakan Djoko Tjandra. Mulai dari keberadaan, termasuk memantau apakah yang bersangkutan berencana masuk ke Indonesia atau tidak. Dia mengatakan, Kejagung telah memiliki kesepakatan dengan Polri dengan pemanfaatan teknologi yang dinamai I-24/7 sejak 2014

Dia menjelaskan, teknologi tersebut dapat melakukan pertukaran informasi selama 24 jam diantara 190 negara interpol. Teknologi, lanjutnya, juga dapat dimanfaatkan untuk memonitor kejahatan internasional yang terjadi, terutama yang melibatkan Indonesia.

Chairul menyebut beberapa kali Kejagung berhasil membawa buronan dari luar negeri. Bahkan, sambung dia, dari negara-negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.

"Tempat-tempat yang tidak punya perjanjian ekstradisi dengan kita, kita bisa berhasil. Jadi enggak tahu kok kenapa sekarang ini bisa begini, saya sendiri sudah lama di luar kejaksaan," katanya.

Dia menilai, tidak ada upaya serius dari Kejagung untuk menangkap Djoko Tjandra bahkan sampai red notice habis keberlakukannya sejak 2019 pun juga tidak segera melakukan perpanjangan. Mejurutnya, publik justru mengetahui hal tersebut justru ketika Mabes Polri mengirimkan surat ke imigrasi dan juga ke Kejagung.

Seperti diketahui, Kejagung telah menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pegawai yang diduga terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra. Mereka mencopot Jaksa Pinangka Sirnamalasari dari jabatan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, Kejaksaan Agung. Pinangki dicopot dari jabatannya karena diduga bertemu dengan Djoko Tjandra di Malaysia pada 2019 lalu.

Djoko Tjandra dibawa kembali melalui jalur penerbangan via Bandara Halim Perdanakusumah. Dia telah tiba di Halim Perdanakusumah, Kamis malam sekitar pukul 22:45 WIB dan segera dibawa ke Mabes Polri.

Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa pweangkapan Djoko melibatkan Kepolisian Diraja Malaysia. Djoko didakwa melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan negara Rp 940 miliar dan buron sejak 2009 lalu.

Dia berjanji kepolisian akan menjalankan pemeriksaan secara terbuka dan transparan sehingga publik bisa mengikuti segala perkembangan yang ada. Lanjutnya, kepolisian juga ingin agar proses pemeriksaan cepat selesai dilakukan sehingga semua kasus yang berkenaan dengan Djoko Tjandra bisa segera disampaikan ke publik.