Senin 03 Aug 2020 13:55 WIB

Selamat Jalan, Dokter Andhika

Dokter Andhika sengaja mendaftar jadi relawan untuk merawat pasien Covid-19.

Dokter Andhika Kesuma Putra
Foto: INSTAGRAM
Dokter Andhika Kesuma Putra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Israr Itah*

Benarlah adanya, kita baru tersentuh sesuatu yang pernah bersinggungan dengan hati, pikiran, atau pengalaman hidup kita. Begitu pula yang terjadi pada saya, Senin (3/8) pagi ini. Saya tak bisa menahan air mata kesedihan sesaat setelah menelepon abang tertua di Medan. Abang mengonfirmasi kebenaran foto yang baru saya lihat dalam satu unggahan Twitter, pagi ini. Dokter Andhika yang meninggal di Medan akibat terpapar Covid-19 adalah dokter yang membantu pengobatan ayah kami sebelum beliau menghadap Sang Pencipta.

Dokter Andhika wafat pada Sabtu (1/8) siang, setelah berjuang melawan Covid-19 selama dua pekan. Saya hanya mengetahui sekilas kabar ini karena sedang libur. Biasanya saat libur, saya agak menjaga jarak dari berita dari media ataupun media sosial. Sebab, setiap hari kerja saya bersinggungan dengan segala macam berita. Jadi, kalau tak sengaja melihat running text di tv, pastilah membaca judul berita yang berseliweran di medsos saat libur tanpa membacanya lebih jauh.

Bukan tak ada empati juga saat mengetahui sang dokter yang beroperasi di daerah asal saya meninggal. Sudah terlalu banyak dokter menemui Sang Pencipta akibat Covid-19. Perasaan sedih yang menyelinap di hati dan bertahan beberapa saat ketika mendengar petugas kesehatan meninggal karena Covid-19 pada awal-awal pandemi, perlahan makin berkurang, kalau tidak boleh dibilang hilang.

 

Namun, pagi ini, saya tak kuasa membendung air mata mengalir. Ada perasaan sedih luar biasa mengetahui dokter yang meninggal adalah sosok yang pernah saya kenal dan selalu saya ingat kebaikannya.

Andhika Kesuma Putra nama lengkapnya. Ia dokter spesialis paru lulusan Universitas Sumatera Utara, Medan. Ia lahir di Padang, Sumatra Barat, 36 tahun lalu, namun besar bersekolah di Riau. Sejak SD sampai Tsanwiyah, dia selalu juara kelas. Tak heran jika ia bisa menembus SMU Plus Riau dan akhirnya lulus di FK USU.

Di Medan, dia dokter beken. Bicaranya ceplas ceplos. Terkadang terdengar ketus. Lain waktu bisa lembut dan bercanda.

Terlepas dari gaya komunikasinya, dia tipikal dokter yang memberikan solusi dan ringan tangan. Bagi yang baru mengenal mungkin bisa mangkel atau baper. Namun tambahlah waktu berkomunikasi dengannya, kita akan merasakan bahwa dokter Andhika orang yang straight to the point dan solutif. Kabarnya di hari dan waktu tertentu, ia menggratiskan biaya konsultasi sejumlah pasien.

Dokter Andhika terbuka dalam menjelaskan kondisi seputar kondisi pasien, perkiraan penyakit, tindakan medis yang akan diambil, sampai kondisi setelahnya. Ini demi pemahaman dan ketenangan keluarga pasien. Namun harap disimak dengan baik. Jika kita mengulang pertanyaan serupa, siap-siap mendapat sindiran dari beliau.

Dokter Andhika menjadi sosok penting dalam keluarga kami pada akhir 2017. Saat itu, ayah yang sudah kepayahan berjalan dan bergerak karena nafasnya tak lancar menyerah. Ia menerima dibawa ke rumah sakit untuk menjalani rawat inap. Ayah menelepon, meminta saya untuk pulang ke Binjai, kota kecil berjarak sekitar 20 km dari Medan. Ayah ingin saya menemaninya di rumah sakit.

Sebelumnya, beliau selalu menolak dirawat. Makanya, ketika ada permintaan seperti itu, pasti kondisinya memang sudah berat dan saya mesti pulang. Setelah mendapatkan izin dari atasan di kantor, saya pulang kampung untuk membantu mengurus beliau.

Ayah kami rawat di salah satu rumah sakit di Binjai. Ayah diinfus, diberi selang oksigen untuk bantu nafas, dan sejumlah obat yang harus dikonsumsi. Selebihnya, tindakan medis menurut saya sangat lamban karena harus menunggu pemeriksaan dokter penyakit dalam yang jadwalnya terbatas. Saat bertemu dokter, nyaris tak ada solusi berarti. Sang dokter hanya berbicara sebentar meminta ayah dan kami menunggu perkembangan, yang entah apa maksudnya. Padahal setiap hari kondisi ayah semakin memburuk.

Kami akhirnya memutuskan untuk membawa ayah ke Medan agar mendapatkan perawatan yang lebih baik. Tapi sejumlah rumah sakit yang kami tuju penuh. Syarat untuk bisa pindah rumah sakit dengan kondisi ayah saat itu adalah, kami sudah harus punya kepastian rumah sakit yang akan kami tuju menerima pasien inap seperti ayah.

Dalam situasi ini, Abang yang kebetulan punya banyak kenalan dokter mencari bantuan. Ketika itu, ia masih menjadi salah satu petinggi di perusahaan farmasi luar negeri. Dari banyak kenalannya, abang mengontak dokter Andhika. Selain lumayan dekat karena urusan kerjaan, abang tampaknya paham dokter Andhika pasti akan mengulurkan tangan membantu kami. Apalagi dokter Andhika spesialis paru, cocok dengan keluhan penyakit ayah.

Benar saja, dokter Andhika membantu kami. Pertama, ia meminta kami mengontak salah satu rumah sakit berbiaya terjangkau tempat ia praktik. Kami mengikuti.  Rumah sakit tersebut awalnya mengatakan ruangan penuh. Abang kemudian melapor kepada dokter Andhika mengatakan kami tak mendapatkan ruangan di rumah sakit yang direkomendasikannya. Dokter Andhika lantas mengontak manajemen rumah sakit tersebut. Ia meminta disediakan kamar untuk perawatan ayah saya. Dokter Andhika sendiri yang akan menangani ayah.

Dari awal saja sudah terlihat kebaikan beliau. Ia merujuk kami ke tempat ia praktik yang berbiaya terjangkau, tidak ke rumah sakit satunya yang berbiaya lumayan untuk ukuran kami. Rumah sakit tempat praktik beliau satu lagi dikenal menjadi langganan golongan berduit di Medan. Fasilitasnya lengkap, dokternya juga kelas satu. Dokter Andhika salah satu andalan di sana yang pasiennya selalu ramai. Tapi kami tidak diarahkan ke sana, toh di mana pun beliau juga yang menangani langsung.

Sampai di rumah sakit rekomendasi tersebut, kami diterima dengan sangat baik. Ayah langsung ditangani di UGD dan hanya berselang menit dirontgen. Berselang jam, ayah sudah dibawa ke kamar inap. Dalam 24 jam, kami mengetahui kalau ada cairan di paru-paru ayah. Itulah yang menjadi penyebab beliau susah bernapas.

Dokter Andhika betul-betul bergerak cepat. Hanya selang sehari, ia mengoperasi ayah. Ia membuat lubang di dekat dada untuk mengalirkan cairan dan ditampung ke dalam kantung. Bila cairan sudah penuh, kantung diganti.

Kondisi ayah langsung mengalami kemajuan. Esoknya, ayah sudah bisa bergerak leluasa dan bicara lebih bebas tanpa terengah-engah. Kondisinya yang membaik membuat ayah ingin pulang. Beliau memaksa. Kami anak-anaknya berusaha keras menahan, tapi hanya mampu beberapa hari. Setelah berkonsultasi, dokter Andhika memberikan izin pulang, tapi dengan syarat harus cepat kembali jika kondisinya kembali drop.

Dalam fase perawatan itu, saya beberapa kali berbicara dengan dokter Andhika bersama abang. Wajahnya datar saja saat menjawab pertanyaan kami atau memberikan keterangan seputar penyakit ayah. Ia mencurigai ayah terkena kanker paru. Dokter Andhika menyarankan cairan dari paru-paru ayah diperiksa di lab yang lebih baik. Ia juga tak gengsi untuk memberikan rekomendasi agar ayah dirawat oleh kolega sekaligus seniornya. Menurut dokter Andhika, seniornya ini mungkin bisa memberikan opini lain dan dapat memberikan alternatif penyembuhan lebih baik darinya. Apalagi rumah sakit tempat praktik senior yang disebutkan dokter Andhika punya peralatan lebih canggih dengan biaya terjangkau.

Hasil lab ternyata negatif. Ayah tak menderita kanker. Namun fungsi parunya hanya tinggal 20 persen dan terus menurun. Pengurasan cairan dari paru-parunya sudah tak banyak menolong. Ayah akhirnya berpulang pada November 2017 setelah mendapatkan perawatan di rumah sakit tempat senior dokter Andhika tersebut berpraktik.

Kenangan ini berkelebat di kepala saya saat menyaksikan foto dokter Andhika yang kini sudah menyusul ayah di alam sana.

"Dia bilang seperti bercanda siap syahid membantu pasien Covid. Di rumah sakit tempat praktiknya kebetulan salah satu yang paling banyak merawat pasien Covid. Dia sempat menjadi relawan di RS lain di luar tempat praktiknya yang juga banyak merawat pasien Covid. Di grup WA kami juga kaget mendengar kabar ini," kata abang di ujung telepon.

Dokter Andhika memilih jalan terbaiknya menemui Sang Pencipta. Ia wafat menjalani prinsip hidup yang dipegang teguh, menolong orang sebatas maksimal kemampuannya. Selamat jalan, dokter Andhika! Amal baik Anda, Insya Allah akan mendapatkan balasan sepadan.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement