Sabtu 01 Aug 2020 13:25 WIB

Mengingat Kembali Invasi Irak ke Kuwait 30 Tahun Lalu

Pada tanggal 2 Agustus 1990, pasukan Irak menyerbu Teluk Kuwait.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
picture-alliance/AP Photo/J. Maps
picture-alliance/AP Photo/J. Maps

Ketegangan antara dua negara bertetangga yaitu Irak dan Kuwait telah sejatinya telah meningkat sejak 18 Juli 1990. Saat itu, Irak menuduh Kuwait mencuri minyak dari ladang minyak di Rumaila dan melanggar batas wilayahnya.

Saddam Hussein yang saat itu menjadi pemimpin Irak menuntut ganti rugi sebesar $ 2,4 miliar atau sekitar Rp 35 triliun dari Kuwait. Sementara Kuwait mengatakan sebaliknya, bahwa Irak telah berusaha mengebor sumur minyak di wilayahnya.

Saling klaim inilah yang kemudian berkembang menjadi salah satu perselisihan yang paling kompleks di perbatasan kedua negara. Ini juga yang terus menjadi pokok pertikaian sejak kemerdekaan Kuwait pada tahun 1961.

Hari kelabu bagi Kuwait

Selain konflik di perbatasan, Irak juga menuduh Kuwait membanjiri pasar dengan minyak sehingga membuat harga minyak mentah anjlok. Upaya Liga Arab dan Arab Saudi untuk menengahi penyelesaian krisis menjumpai kegagalan dan pembicaraan ditunda pada 1 Agustus.

Akan tetapi keesokan harinya, tanggal 2 Agustus 1990 pasukan Irak langsung menyerang. "Pasukan Irak pada jam 2 pagi waktu setempat mulai melanggar wilayah perbatasan utara kami, memasuki wilayah Kuwait dan menduduki posisi di Kuwait," demikian siaran berita oleh Radio Kuwait dalam buletin beritanya. Berita radio ini diiringi latar belakang suara musik patriotik dan seruan kepada warga Kuwait agar "mempertahankan tanah, gurun dan bukit pasir mereka.”

Bentrokan antara tentara Kuwait dan Irak dengan persenjataan berat pun pecah di Kuwait City. Pasukan Kuwait yang saat itu hanya berkekuatan 16.000 orang kewalahan menghadapi 100.000 pasukan Irak dengan 300 tank. Pagi itu, ibu kota Kuwait jatuh dan Kepala Negara Kuwait Sheikh Jaber al-Ahmad Al-Sabah mengungsi ke Arab Saudi. Saudara lelakinya yang bernama Fahd bahkan ikut terbunuh saat pasukan Irak merebut istana.

Sementara di Baghdad, Irak, radio resmi milik pemerintah mengumumkan berakhirnya "rezim pengkhianat" yang dituduh sebagai kaki tangan "komplotan Zionis Amerika" yang bertujuan merusak pemulihan ekonomi Irak.

Saddam Husein: “Kuwait adalah bagian dari Irak”

Komunitas internasional beramai-ramai mengecam invasi ini. Harga minyak melambung di pasar internasional. Pada sebuah pertemuan darurat, Dewan Keamanan PBB menuntut agar semua pasukan Irak di Kuwait segera ditarik, tanpa syarat.

Washington pun membekukan aset Irak di AS dan anak perusahaannya di luar negeri, bersama dengan aset milik Kuwait guna mencegah kemungkinan Baghdad mengambil untung dari aset tersebut. Bahkan Uni Soviet yang saat itu menjadi pemasok senjata utama ke Irak pun menghentikan pengirimannya.

Tanggal 6 Agustus 1990, Dewan Keamanan PBB memberlakukan sejumlah embargo seperti di bidang perdagangan, keuangan, dan militer terhadap Irak. Dua hari kemudian, Presiden AS George H.W. Bush mengumumkan bahwa ia akan mengirim pasukan ke Arab Saudi.

Irak pun menutup perbatasannya bagi orang asing. Ribuan warga sipil barat, Arab dan Asia ditahan di Irak maupun Kuwait. Sekitar 500 orang diduga dikorbankan sebagai 'perisai manusia' di berbagai lokasi strategis selama berbulan-bulan. Pada 8 Agustus, Baghdad mengumumkan penggabungan Kuwait secara total dan menyeluruh dengan Irak. Pada bulan itu juga, Irak mencaplok Kuwait dan menyatakannya sebagai provinsi ke-19. "Kuwait adalah bagian dari Irak," kata Saddam Hussein.

Operasi Badai Gurun

Pada 29 November, Dewan Keamanan PBB mengizinkan penggunaan "semua sarana yang diperlukan" untuk memaksa Irak keluar dari Kuwait jika belum menarik mundur pasukannya secara sukarela pada 15 Januari 1991. Baghdad menolak ultimatum ini.

Pada 17 Januari, setelah inisiatif diplomatik gagal, Operasi Badai Gurun yang dipimpin oleh AS dimulai dengan pengeboman intensif di Irak dan Kuwait. Pada 24 Februari 1991, Presiden Bush mengumumkan dilangsungkannya serangan darat. Selama berminggu-minggu, koalisi sejumlah negara yang dipimpin AS menempatkan lebih dari 900.000 tentara mereka di kawasan yang bertikai. Sebagian besar pasukan ditempatkan di perbatasan Arab Saudi dan Irak.

Pasukan sekutu bergerak cepat dan dapat mencapai gencatan senjata dengan Irak hanya dalam 100 jam. Bush mengumumkan pembebasan Kuwait pada 27 Februari dan berakhirnya pertikaian pada hari berikutnya. Kalah telak, Irak menerima semua resolusi PBB. Namun Kuwait sudah terlanjur hancur, dijarah, dan sedikitnya 750 sumur minyak telah terbakar.

Krisis ini telah memecah negara-negara Arab. Tentara Mesir dan Suriah mengambil bagian dalam koalisi, tetapi dikecam oleh negara-negara Arab lainnya. Lebih dari satu dekade kemudian, yaitu pada tahun 2003, Kuwait berfungsi sebagai jembatan bagi invasi yang dipimpin AS ke Irak, yang kemudian menggulingkan Saddam Hussein.

ae/yp (AFP, theatlantic.com)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement