Sabtu 01 Aug 2020 06:30 WIB

Sudah Negatif Covid-19, Kok Gejalanya Masih Terasa?

Penyintas yang alami gejala sisa Covid-19 kerap dianggap stres.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Reiny Dwinanda
Virus corona (ilustrasi). Penyintas Covid-19 kerap dikira stres karena masih merasakan gejala sisa infeksi virus corona.
Foto: www.freepik.com
Virus corona (ilustrasi). Penyintas Covid-19 kerap dikira stres karena masih merasakan gejala sisa infeksi virus corona.

REPUBLIKA.CO.ID, PORTLAND -- Sejumlah pasien di Amerika Serikat mengalami gejala Covid-19 berulang dan tak kunjung hilang. Salah satu yang didera keluhan itu adalah Ailsa Court asal Portland, Oregon.

Court pertama kali mengalami gejala pada Maret 2020. Dia tertular virus corona dari rekan kerjanya.

Baca Juga

Setelah sembuh, Court masih mengalami sesak napas, rasa sakit di paru, dan kesemutan yang janggal di betisnya. Seorang dokter menyebutnya stres akibat kondisi ekonomi, sementara dokter lain mengatakan itu akibat asam lambung dan defisiensi vitamin.

Perempuan 35 tahun itu tidak sendirian. Para penyintas Covid-19 di AS juga berakhir dengan gejala tak berujung, terutama para perempuan. Sejumlah pasien itu kian frustrasi karena para dokter mengatakan rasa sakit hanya ada dalam pikiran mereka.

 

Bagaimanapun, stereotipe mengenai pasien perempuan yang cenderung "histeris" telah lama ada dalam dunia kedokteran. Tanpa disengaja, bias yang sudah mengakar itu bisa memengaruhi penilaian para profesional medis terhadap pasien.

Belum ada penelitian tentang perbedaan perlakuan pasien Covid-19 perempuan dan laki-laki, tapi ada pola yang mengganggu. Dibanding pasien pria, pasien perempuan yang mengeluh sakit lebih mungkin diberi resep obat penenang alih-alih penghilang rasa sakit.

Selain itu, pasien perempuan dengan jenis rasa sakit yang sama dengan pria harus menunggu lebih lama di unit gawat darurat untuk diperiksa. Perempuan juga tiga kali lebih mungkin meninggal setelah serangan jantung daripada pria, karena penanganan tak merata.

Ras dan etnis ikut memengaruhi penanganan. Pasien kulit hitam yang mengalami nyeri akut, berpeluang 40 persen lebih rendah mendapat pengobatan dibanding pasien kulit putih. Pasien Latin berpeluang 25 persen lebih rendah ditangani daripada pasien berkulit putih.

Dengan adanya komparasi tersebut, dibutuhkan upaya lebih untuk membantu pasien penyintas Covid-19 bergender perempuan yang gejalanya tak juga reda. Setidaknya, penyedia layanan kesehatan di seluruh AS telah berjuang keras mencari tahu apa penyebabnya.

Dokter penyakit menular AS dr Anthony Fauci mengatakan, butuh lebih banyak penelitian terkait pasien yang tampaknya menderita sindrom pascavirus. Karena virus tidak pernah terindentifikasi sebelum pandemi, ini harus dipelajari secara //real time//.

Direktur bagian paru konsultatif tingkat lanjut di Penn Medicine, dr Jessica Dine, adalah salah satu dokter yang menangani pasien dengan gejala tak kunjung reda. Menurut ahli paru itu, tenaga medis perlu menumbuhkan rasa percaya terhadap pasien.

Dokter sebaiknya menunjukkan kepada pasien bahwa keluhan mereka didengar. Pasien yang dia tangani memiliki masalah pernapasan, kesemutan, mati rasa di tangan dan kaki, fluktuasi denyut jantung dan tekanan darah, kelelahan ekstrem, serta pusing.

"Langkah pertama adalah mengenali bahwa gejala-gejala ini nyata. (Meskipun) bagian yang membuat frustrasi bagi pasien dan dokter adalah, kami tidak tahu apakah ini akan menjadi lebih baik dan kapan," kata Dine, seperti dikutip dari laman Today.

Profesor kebidanan dan ginekologi Melissa Simon menyampaikan, biasanya dokter memiliki protokol untuk penanganan pasien. Ada daftar periksa yang harus diisi untuk memastikan dokter dan tenaga medis tidak melewatkan diagnosis.

Direktur Pusat untuk Transformasi Ekuitas Kesehatan di Fakultas Kedokteran Universitas Northwestern itu mencontohkan penanganan di ruang gawat darurat. Pasien yang mengeluh nyeri dada akan menjalani tes laboratorium dan pengecekan tanda-tanda vital.

Hanya saja, belum ada protokol untuk kasus Covid-19 dan masalah jangka panjang yang mungkin ditimbulkannya. Tim medis sedang membuat daftar tersebut di tengah hiruk-pikuk penanganan pasien dengan gejala kronis.

Meski demikian, Simon mengingatkan bahwa pasien punya hak untuk bertanya kepada dokter terkait diagnosis. Misalnya, mengapa dokter sampai pada kesimpulan yang diambil atau menanyakan diagnosis apa saja yang dikesampingkan.

Alih-alih menyebut itu stres akibat pandemi, dokter sepatutnya percaya kepada apa yang dikeluhkan pasien. "Kita harus mengakui bahwa apa yang dikatakan pasien adalah nyata dan kita harus berusaha memahami cara terbaik untuk mengatasinya," ungkap Simon.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement