Jumat 31 Jul 2020 18:55 WIB

Kebijakan Penanggulangan Covid-19 Masih Sisakan Masalah

Akurasi data masih menjadi persoalan yang dihadapi pemerintah.

Rep: wahyu suryana/ Red: Hiru Muhammad
Petugas mengingatkan warga agar menjaga jarak saat mengantre penyaluran bansos tunai Kemensos, di Kantor Pos Khatib Sulaiman, Padang, Sumatera Barat, Jumat (15/5/2020). Sebagian besar warga tidak mengikuti protokol pencegahan COVID-19 dengan mengantre tanpa jaga jarak.
Foto: ANTARA/Iggoy el Fitra
Petugas mengingatkan warga agar menjaga jarak saat mengantre penyaluran bansos tunai Kemensos, di Kantor Pos Khatib Sulaiman, Padang, Sumatera Barat, Jumat (15/5/2020). Sebagian besar warga tidak mengikuti protokol pencegahan COVID-19 dengan mengantre tanpa jaga jarak.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN--Pandemi Covid-19 yang melanda hampir sebagian besar dunia timbulkan situasi ketidakpastian, termasuk di Indonesia. Sejumlah kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi dampak yang timbul akibat virus Corona tersebut.

Pengamat Kebijakan Publik PH&H Public Policy Interest, Agus Pambagio menilai, masih ada sejumlah persoalan dalam kebijakan publik yang diambil pemerintah. Misalnya, dari segi hukum, masih terdapat peraturan yang saling berbenturan.

"Selain itu, juga banyak muncul surat edaran yang bukan suatu produk hukum, sehingga sulit dilaksanakan karena hanya semacam infromasi internal," kata Agus dalam bedah buku Kebijakan Penanggulangan Covid-19 secara daring, Kamis (30/7).

Ia mengatakan, akurasi data masih menjadi persoalan yang dihadapi pemerintah. Misalnya, masih banyak perbedaan data dari pemerintah, IDI dan pemda terkait Covid-19, ditambah perbedaan klasifikasi data dengan WHO terkait PDP dan OPD.

Selain itu, Agus melihat data bantuan sosial masih kacau. Kebijakan publik dinilai masih terlihat mengedepankan ego sektoral masing-masing institusi, misalnya antara Kementerian Perhubungan dan satgas-satgas angkutan mudik.

Agus turut melihat, kebijakan yang diambil belum efektif. Misalnya, kasus kartu prakerja, penunjukkan platform digital dan penyedia konten yang tidak transparan, serta antara PSBB dengan lock down yang memunculkan kebingungan.

"Banyak yang membingungkan masyarakat diulas pada buku ini untuk mengingatkan pengambil kebijakan jika masih ada persoalan saat ini," ujar Agus dalam acara yang digelar Prodi Magister dan Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM.

Pengamat Kebijakan Publik PH&H Public Policy Interest lain, Edi Haryoto menyebut, kebijakan publik bersifat cepat tanggap perlu diambil selama masa darurat. Dibutuhkan pula transparansi data dan transparansi kebijakan.

Edi menyarankan, kebijakan yang dibuat harus komperehensif dan independen. Selanjutnya, harus terdapat komunikasi dan stimulus yang efektif agar bisa membentuk kepercayaan publik kepada pemerintah. "Kebijakan yang terjadi justru menunjukkan respon lambat dan transparansi data belum jelas, tidak efektif dan membingungkan," kata Edi.

Ketua Prodi Magister dan Doktor Kepemimpinan dan Inovasi kebijakan UGM, Prof. Muhadjir Darwin menyampaikan, Covid-19 merupakan masalah kesehatan baru bagi dunia. Setiap negara melakukan inovasi berbeda sesuai kebijakan masing-masing.

Ia menekankan, persoalan inovasi itu ketangkasan tentang bersikap. Muhadjir merasa, dalam inovasi kebijakan penanganan Covid-19 di Tanah Air pemerintah masih kurang menyebarluaskan kebijakan yang ada guna menekan penyebaran.

"Bagaimana kebijakan pemerintah, prosedur kesehatan untuk memutus mata rantai Covid-19 agar masyarakat berlaku sesuai anjuran, sepertinya pemerintah kurang dalam mendifusikan ini," ujar Muhadjir. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement