Jumat 31 Jul 2020 18:10 WIB

Idul Adha, Ajang Jalin Kerukunan dan Persaudaraan

Diharapkan dengan kurban kita bisa bisa berbagi dengan orang-orang yang membutuhkan.

Penyembelihan hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha 1441 H, Jumat (31/7).
Foto: dok ACT Solo
Penyembelihan hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha 1441 H, Jumat (31/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari ini, Jumat (31/7), umat Islam di dunia merayakan Hari Raya Idul Adha atau Idul Qurban. Perayaan  Idul Adha tersebut merupakan sarana bagi umat manusia untuk berbagi kepedulian antar sesama. Karena ibadah dan hidup bersama-sama di dalam agama Islam itu sendiri selain punya dampak individu tapi juga harus punya dampak sosial.

"Karena di Idul Adha pada 10 hari pertama kita disunnahkan untuk berbuat kebajikan, berbuat amal sholeh, tolong menolong antar sesama umat manusia dan di sunahkan juga untuk berpuasa dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah," ujar Ketua Ikatan Dai (Ikadi) bidang Organisasi Baharuddin Husin, dalam siaran pers, Jumat (31/7).

Dikatakan Baharuddin, di dalam Idul Adha itu sendiri disunahkan juga kepada umat Islam untuk meningkatkan kepedulian yaitu dengan menyembelih hewan pada hari Idul Adha yakni pada tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah.

"Diharapkan dengan melalui kurban ini bisa berbagi kepada tetangganya pada seluruh orang-orang yang khususnya sangat membutuhkan kepedulian itu. Di sinilah kepedulian dan juga membangun solidaritas yang diharapkan rasa persatuan persaudaraan antar sesama umat itu akan dapat meningkat, termasuk juga persaudaaan kebangsaan,” ujarnya

Karena di dalam kehidupan ini kalau tanpa adanya kerukunan, persaudaraan maupun solidaritas baik itu keagamaan dan solidaritas kebangsaan  maka seluruhnya akan sengsara. Karena tanpa kebersamaan dan soldaritas, tanpa tolong menolong maka kehidupan ini juga akan sengsara dan menjadi saling mengeksploitasi," katanya.

"Saya rasa hal seperti ini perlu disampaikan dalam semua acara-acara kita sehingga akan terwujud suatu bangsa yang kuat, bangsa yang saling tolong menolong, bukan bangsa yang saling merusak antar sesama umat," ujarnya.

Meskipun demikian, menurutnya persoalan solidaritas keagamaan sering menjadi sangat sempit dan melupakan persaudaraan kebangsaan. Hal ini bisa saja memicu konflik seperti yang terjadi di luar negeri yang tentunya hal itu tidak diharapkan masuk ke Indonesia.

"Untungnya dengan keberadaan Organisasi Massa (ormas) yang didukung para pemuka agama di Indonesia dapat meredam kasus-kasus yang terjadi di komunitasnya masing-masing sehingga mencegah terjadinya konflik yang lebih luas," ujarnya.

Apalagi kemudian menurutnya dengan adanya pengertian hubbul wathon minal iman, 'Cinta Tanah Air itu bagian dari iman'. Masyarakat tidak bisa berbuat tanpa ada negara, tanpa tanah air, karena Tanah Air ini merupakan bagian dari anugerah. 

Lagi pula menurutnya merdeka diraih berkat perjuangan para ulama bersama para tokoh yang nasionalis dan agamis, sehingga muncul apa yang dikatakan itu lima dasar negara Pancasila.

"Pancasila ini juga hasil dari rembukan yang sangat luar biasa yang dinaungi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang mana empat sila berikutnya itu di bawah naungan itu semua. Artinya tolok ukur maupun motor penggeraknya adalah Ketuhanan itu sendiri yang luar biasa. Nah, dalam agama juga ada kaitan dengan Tanah Air yang harus dibangun bersama-sama dengan baik," ujarnya.

Selain itu Baharuddin menuturkan dalam aturan agama ada lima hal yang disebut, yakni ‘hifdzun nafs’ atau memelihara jiwa. Kemudian ‘hifdzun nasl’ yakni menjaga keturunan. Lalu ‘hafdzul maal’ memelihara harta. Berikutnya juga yang keempat yaitu ‘hafdzul aql’, atau memelihara akal. Dan terakhir adalah ‘hifdzud diin’, yang artinya memelihara agama.

"Istilahnya membina orang-orang yang kapasitas agamanya masih lemah,  juga para para ustaz yang setengah-setengah. Tentunya hal ini harus dibina terus hingga mereka punya kapasitas yang betul-betul bisa menjelaskan agama itu secara utuh dan komprehensif," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement