Rabu 29 Jul 2020 13:08 WIB

Wisata Healing Forest Bakal Diminati Usai Pandemi

Wisata healing forest sudah jadi tren di dunia untuk pulihkan kesehatan mental.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nora Azizah
Wisata healing forest atau terapi hutan diprediksi bakal diminati para wisatawan ke depan (Foto: ilustrasi wisata hutan)
Foto: Antara/Hendra Nurdiyansyah
Wisata healing forest atau terapi hutan diprediksi bakal diminati para wisatawan ke depan (Foto: ilustrasi wisata hutan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wisata healing forest atau terapi hutan diprediksi bakal diminati para wisatawan ke depan. Perubahan itu diyakini akibat pandemi virus corona yang meningkatkan kesadaran konsumen untuk menjaga kesehatan.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno, mengatakan, wisata terapi hutan bahkan sudah mulai menjadi tren dunia. Sebab cara itu dianggap bisa memulihkan stres baik fisik maupun mental.

Baca Juga

"Terapi ini dilakukan dengan cara memasuki sebuah kawasan hutan lalu membiarkan hutan terhubung dengan semua indra kita, seperti indra penciuman, pengecap, penglihatan, pendengaran, perabaan, dan gerakan," kata Wiratno dalam Planet Tourism Indonesia 2020 yang digelar secara virtual, Rabu (29/70.

Ia mengatakan, Indonesia memiliki potensi besar dalam pemanfaatan kawasan konservasi untuk wisata alam. Setidaknya terdapat 102 titik gunung dan pendakian, 1.200 titik panorama alam, 274 titik gua, 820 air terjun, 160 danau dan 51 wisata bahari.

Dari dari ribuan titik wisata alam di kawasan konservasi itu, 76 persen memiliki akses yang mudah dicapai dan 24 persen masih sulit dicapai.

Wiratno menuturkan, sebelum pandemi Covid-19 datang, tren wisata ke kawasan konservasi pun sudah meningkat. Terutama untuk wisatawan domestik, di mana pada 2018 terdapa 7,38 juta kunjungan dan meningkat menjadi 7,47 juta kunjungan pada 2019. Adapun untuk turis asing jumlahnya menurun dari 515 ribu kunjungan menjadi 466 ribu kunjungan.

"Ini memiliki efek ganda karena ada nilai yang menggerakkan ekonomi masyarakat setempat," kata Wiratno.

Seiring adanya pandemi Covid-19, Wiratno, pemerintah alhasil terpaksa menutup kawasan konservasi. Hal itu lantas memukul ekonomi perdesaan setempat. Namun karena pemerintah sudah memberlakukan era adaptasi kebiasaan baru, kawasan konservasi mulai dibuka untuk wisata namun dengan protokol kesehatan yang ketat.

"Kita sudah membuka 29 taman nasional di tahap I. Kami mulai dengan 10 persen pembukaan dan dievaluasi tiap minggu. Dasar pertimbangan kami untuk menggerakkan ekonomi di sekitar kawasan wisata sekaligus pemulihan psikologis masyarakat," kata dia.

Meski demikian, ia mengatakan karena tren wisata alam, khususnya terapi hutan diyakini menjadi primadona, perlu adanya pengetatan kegiatan konservasi. Hal itu perlu disiapkan sejak dini agar kondisi ekosistem lingkungan tetap terjaga di tengah adanya lonjakan wisata alam.

"Ke depan tidak adalagi rombongan orang masuk tanpa terkontrol. Harus ada kontrol dengan di bawah kapasitas pengunjung. Ini harus diurus hati-hati sekali," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement