Rabu 29 Jul 2020 13:03 WIB

Mengenal Kiainya Tentara Indonesia & Guru Jenderal Sudirman

KH Bey Arifin menjadi pengajar di Pusat Rohani Islam Angkatan Darat ABRI.

KH Bey Arifin
Foto:

Bey Arifin merasakan zaman pendudukan Jepang. Mulanya, Dai Nippon datang membawa janji-janji pembebasan kepada rakyat Indonesia. Namun, belakangan propaganda itu tak lagi mempan dalam memikat massa.

Apalagi, Jepang sering berlaku kejam terhadap penduduk setempat. Secercah harapan muncul ketika para pemuda pergerakan mengetahui kabar kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II.

Bey Arifin pada Agustus 1945 masih berada di Kalimantan. Seperti halnya jutaan rakyat Indonesia, ia pun larut dalam syukur dan gembira usai menerima berita Proklamasi RI.

Berikutnya, ia mendapati informasi, tentara Sekutu mulai memasuki wilayah Tanah Air. Bahkan, Belanda dipastikan turut membonceng balatentara pemenang Perang Dunia II itu dengan niatan ingin kembali menjajah Indonesia.

Pada September 1945, Bey Arifin dan keluarganya menumpang sebuah perahu Madura untuk meninggalkan Kalimantan. Ia menuju Surabaya, Jawa Timur. Di kota itu, suasana sudah menegangkan. Kaum Republik sudah siap tempur melawan tentara Sekutu, utamanya Inggris.

Bey Arifin pun terlibat langsung dalam Perang 10 November di Surabaya. Ia bergabung dengan Laskar Hizbullah. Sesudah pertempuran yang kelak diperingati sebagai Hari Pahlawan itu, ia pun hijrah ke Madiun untuk jangka waktu tertentu. Usai masa revolusi, ia kembali lagi ke Surabaya dan bekerja sebagai guru agama pada Yayasan Pendidikan al-Irsyad.

Waktu itu, Bey Arifin memboyong seluruh anggota keluarganya ke Surabaya. Dengan bantuan dari pihak al-Irsyad, kepindahan Bey dari Madiun ke Surabaya dilakukan dengan menggunakan pesawat terbang. Sebab, jalur darat waktu itu kurang kondusif.

Dalam era Orde Lama, kariernya sebagai juru dakwah semakin mulus. KH Bey Arifin tidak hanya mengajar di sekolah dan berdakwah di kalangan sipil. Ia pun aktif menjadi penceramah di kalangan tentara. Bahkan, ia pernah menjadi imam tentara di Kodam Brawijaya dan turut mengisi Pusat Rohani Islam Angkatan Darat ABRI (kini Tentara Nasional Indonesia/TNI).

Di atas podium, Kiai Bey Arifin tak selalu menggunakan gaya bahasa formal. Ia juga tak jarang membumbui ceramahnya dengan berbagai anekdot lucu. Karena itu, menurut Totok Juroto, sosok ulama ini sangat disenangi oleh semua tentara, baik dari lapisan prajurit bawahan maupun perwira.

Bahkan, rohaniawan yang mengurusi agama Kristen Protestan juga nyaman berinteraksi dengan Kiai Bey Arifin yang notabene Muslim. Hal ini membuktikan, dalam memberi pengajian seorang juru dakwah penting pula melontarkan guyonan. Mengutip nasihat almarhum KH Maimoen Zubair (Mbah Moen), Kiai yang tidak bisa guyon saat mengaji kitab itu kurang lengkap ilmunya.

Kemampuan humor yang dimiliki KH Bey Arifin menjadi penting agar pesan-pesan agama bisa membekas dalam pikiran jamaahnya. Melalui anekdot, ia dapat lebih mudah menyampaikan makna tekstual yang mungkin terbilang berat kepada para pendengarnya.

Sejak menjadi imam tentara, ia merilis sejumlah karya. Di antaranya adalah Hidup Sesudah Mati (1969), Mengenal Tuhan (1963) dan Samudera al-Fatihah (1966). Saat berumur 72 tahun, Kiai Bey Arifin tercatat sudah menghasilkan sekitar 47 buku. Seluruhnya membahas tentang agama Islam, termasuk dari segi filsafat.

KH Bey Arifin berpulang ke rahmatullah pada 30 April 1995 dalam usia 77 tahun. Selama hidupnya, sang kiai tampaknya benar-benar terpengaruh hadis sahih yang diriwayatkan Imam Bukhari. Sabda Nabi SAW, Sampaikan dariku walau hanya satu ayat. Itulah yang diamalkan Kiai Bey Arifin hingga akhir hayatnya. ed: hasanul rizqa

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement