Selasa 28 Jul 2020 18:41 WIB

Tantangan Politik dan Beragama Umat Islam Amerika Serikat

Tantangan politik dan beragama Muslim Amerika Serikat cukup dinamis.

Tantangan politik dan beragama Muslim Amerika Serikat cukup dinamis. Ribuan muslim Amerika menunaikan sholat Idul Adha di  MetLife Stadium, New York City.
Foto: USA TODAY/Reuters
Tantangan politik dan beragama Muslim Amerika Serikat cukup dinamis. Ribuan muslim Amerika menunaikan sholat Idul Adha di MetLife Stadium, New York City.

REPUBLIKA.CO.ID, Para politisi Amerika Serikat kini memperhitungkan kaum Muslim. Karena jumlah mereka yang besar, kini masyarakat Muslim tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.

Yang pasti pula, desakan orang-orang Islam Amerika Serikat terhadap organisasi yang menaungi mereka agar lebih memainkan peranan politik semakin nyata. Desakan ini kemudian diakomodasi Islamic Society of North America (ISNA). 

Baca Juga

''Dalam rangka menggunakan pengaruh terhadap pengambilan keputusan politik dan perundangan (legislasi) di Amerika Utara, ISNA harus melancarkan kampanye untuk mendidik warga Muslim mengenai hak pilih mereka dan memobilisasikan mereka untuk memberikan suara dalam isu-isu yang berdampak terhadap Islam dan kaum Muslim,'' demikian bunyi keputusan pertemuan Komite Perencanaan ISNA pada 6 Desember 1986.

Di Washington kini ada Dewan Muslim Amerika yang aktif melakukan lobi. Robert Marquand dalam jurnal Christian Science Monitor menuturkan, dewan ini sekarang sangat giat mengkoordinasikan lobi untuk mempengaruhi pemilihan Presiden 1996 ini. 

Sementara, Fiqh Counsel (Badan Fatwa Fiqh) giat melobi berbagai instansi agar mempertimbangkan fatwa mereka. Misalnya, mereka melobi Pentagon agar serdadu Muslim yang bertugas sebagai koki diizinkan tidak memasak babi. 

Umat Islam Amerika Serikat, sebagai minoritas, mesti berjuang dengan lingkungan mereka. Ahmad, misalnya, mengemukakan persoalan dalam hal pendidikan anak. Sebab, sekolah di Amerika Serikat tidak mengajarkan agama, sementara lembaga yang memberikan pengajaran tentang Islam sangatlah terbatas.

Sejumlah orang lainnya mengakui sulitnya mempraktikkan Islam yang sebenarnya di Amerika Serikat. Konon, seperti ditulis Marquand, hanya 10-20 persen Muslim yang benar-benar dapat mengamalkan ajaran Islam secara ketat. ''Memang bagus untuk mempertahankan identitas Anda. Tapi, apa yang terjadi bila anak saya minta bekerja di McDonald? Tak mungkin saya memingitnya di rumah,'' kata seorang dosen Muslim asal Mesir yang dikutip Marquand. 

Ketika ditanyakan soal ini, Ahmad menyatakan ketidak-setujuannya. ''Di negeri Islam pun tidak seluruh Muslim mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan yang ditentukan Alquran dan hadits,'' kilahnya. 

photo
Lampu-lampu hias bertema Ramadhan terpasang di sebuah rumah di Dearborn, Michigan, Amerika Serikat. (AP/Carlos Osorio)

Selain itu, dia juga menuturkan gelombang kembalinya orang Islam ke pangkuan agamanya. Banyak orang yang dulunya sekuler mulai memasukkan anak mereka ke kursus-kursus bahasa Arab atau keislaman yang diselenggarakan masjid-masjid. Yang jelas, seperti dituturkan Marquand, banyak orang Islam AS yang merasakan sulitnya melaksanakan ajaran Islam di negeri itu.  

Menghadapi berbagai godaan itu, banyak orang Islam yang terbawa arus. Tapi, banyak pula yang memilih untuk mempertahankan ajaran atau identitas keislaman mereka dengan ketat. Tapi, sebagian lainnya mencoba mencari jawaban untuk memecahkan persoalan ini. Maka, terjadilah apa yang disebut Amerikanisasi Islam. 

Terjadilah dialog antara ajaran Islam dengan kondisi riil setempat. Masyarakat Amerika Serikat, terutama generasai mudanya yang terbiasa hidup dan berpikir bebas, sering mengajukan pertanyaan kritis terhadap ajaran-ajaran Islam. Maka sebuah tafsir baru terhadap ajaran Islam yang membumi di dataran AS menjadi tantangan yang kian dirasakan.

Hal lain yang jadi persoalan, terutama di tengah menderasnya arus ketertarikan terhadap Islam, adalah soal dana. Dewan Muslim Amerika, misalnya, untuk melakukan aktivitasnya hanya berbekal 400 ribu  dolar Amerika Serikat. Jumlah ini, menurut Marquand, sangat kecil dibandingkan dengan yang dimiliki kelompok lobi lainnya, seperti Yahudi atau Katolik.   

Ahmad juga mengemukakan persoalan yang sama. ''Begitu banyak permintaan akan bahan-bahan mengenai Islam: brosur dan buku tentang Islam serta terjemahan Alquran. Tapi, kami sering tak dapat memenuhinya. Kami mengalami keterbatasan untuk mengadakannya,'' demikian Ahmad.

Keterbatasan ini lebih sering dialami di penjara-penjara. Sebab, arus masuk Islam di kalangan tahanan besar sekali, sehingga banyak napi yang masuk Islam tidak mendapatkan terjemahan Alquran dan bahan-bahan mengenai Islam yang mereka butuhkan, hal yang tidak dialami para napi Kristen dan Yahudi karena begitu melimpahnya Injil dan Taurah serta bahan-bahan lainnya mengenai kedua agama ini.

''Di kebanyakan penjara, para pejabat siap untuk mensuplai kitab Alquran dan bahan-bahan mengenai Islam kepada para napi, tapi mereka mengeluh bahwa mereka tidak mendapat banyak dari organisasi-organisasi Muslim,'' tulis Mahdi Bray, direktur eksekutif Pusat Aksi Politik Muslim Nasional yang berkedudukan di Washington DC  dan juga ketua Yayasan Penjara Islam Nasional dalam News & Views, sebuah buletin untuk kalangan Muslim Amerika Serikat. 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement