Selasa 28 Jul 2020 13:17 WIB

Rakyat Awam Mengenang Kepergian Sultan HB IX

Kisah abadi Sultan HB IX

Sri Sultan HB IX bersama Letkol Suharto di seputaran serangan umum 1 Maret 1949.
Foto: google.com
Sri Sultan HB IX bersama Letkol Suharto di seputaran serangan umum 1 Maret 1949.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Akhmad Khoirul Fahmi, Mahasiswa Pascasarjana Unsud

Kisah  tentang Sri  Sultan Hamengkubowo  IX  yang  menarik  justru  pada sisi  humanis, sosok yang  sederhana  dan merakyat.  Orang  Yogyakarta sampai  hari ini  masih  mengenang  sosok  Ngarsa  Dalem  ini  dalam berbagai versi tentang  kedekatan  Raja  dan rakyatnya.

Beberapa  penggal  cerita  juga  diketahui  dan dituliskan  dalam buku  yang disunting  oleh  Atmakusumah, berjudul Tahta Untuk Rakyat, Celah Celah Kehidupan  Hamengkubowono IX.

Kisah  Pedagang  Beringharjo

Suatu  kebiasaan  Sri  Sultan  naik  mengedarai  mobil sendiri  kemana-mana. Termausk  juga  kebiasaan memberi  lift atau  tumpangan  kepada orang. di Tahun 1946, suatu  saat  sedang mengemudi  Jeep dari Sleman menuju  Jogja. Seorang  wanita  menyetop di  pinggir jalan, mengatakan  mau  ikut  ke  pasar  Kranggan.

Sri Sultan  berhenti  dan  menolongnya  mengangkat  dagangannya ke atas kendaraan menuju  pasar Kranggan. Sampai di  tujuan,   barang dagangan tersebut  ia  turunkan. Kemudian   wanita itu  mau memberi ongkos, akan tetapi   ia  menolak dan  kembali  ke  kendaraan.

Di  koran-koran  diberitakan  kemudian  wanita itu  jatuh  pingsan, setelah  mengetahui  yang  memberi tumpangan  dan  ikut  mengangkut   barang dagangannya adalah  Ngarsa Dalem.  Sri  Sultan  sendiri  ketika  ditanya  tentang  peristiwa  itu  tidak tahu bahwa  wanita tersebut  jatuh pingsan  setelah  tahu  siapa  dirinya.

Selain Sempat Jadi Wakil Presiden, Simak Juga Fakta-fakta Unik Sri ...

Kisah  Perjalanan menuju  Bandung

Pada suatu  waktu, Sri Sultan   sedang  menuju  Bandung. Saat itu   sedang menjabat sebagai  Menteri  Pertahanan. Di suatu  desa  ada seorang pria  yang ikut  menumpang.

“Kami  mengobrol  dalam sikap santai  sambil  merokok. Kemudian  saya  merasa bahwa penumpang  itu  berkali-kali  memperhatikan muka  saya. Akhirnya  bertanya,  ‘apakah  Bapak ini  Sultan Hamengkubowono yang...eh, Menteri  Pertahanan  itu?. 

Saya  jawab: Ya. Pria  itu  mendadak  tidak betah duduk  di sebelah  saya. Ia   tampak  agak  gelisah  dan  minta  diturunkan  saat  itu  juga, padahal kami  masih jauh  dari  tempat tujuan.

‘Tak usah sampai  Bandung Pak!" katanya kaku. “ Ah, nggak  apa-apa,”  kata   saya,   dan  saya   ‘paksa  ‘ pria  itu untuk terus  sampai  di  kota   tujuan”.

Sejarah Hari Ini (12 April 1912) - Hari Lahir Sri Sultan ...

Kisah  Rebuwes dan  Brigadir Royadin

Pengalaman  lain  terjadi  tahun  lima puluhan dimana  mobil-mobil  belum diberi AC. Demikian mobil pula  mobil Sultan, sekalipun saat  itu  menjabat  menteri. “ Kesenangan  saya  adalah  mengemudikan mobil  antara Jakarta-Yogya  pulang pergi.

Jika   hari  sangat panas  dan dibelakang  setir saya  kegerahan, sesampai  di  luar kota  saya suka  buka baju. Duduk dibelakang  setir  dengan santai  saja, hanya  memakai  singlet  dan...celana  dalam”. 

Di suatu  tempat, kira  kira diperbatasan  antara  Jawa Barat dan Jawa Tengah, di  bilangan  Cilosari, sering ada penyetopan polisi  untuk  pemeriksaan surat-surat. Malam itu  saya  disetop, dan atas permintaan  polisi  saya  berikan rebuwes  dan surat-surat  mobil.

Beberapa saat  setelah  meneliti  rebewes  dan surat-surat  mobil, tampak polisi  itu seperti  kaget  dan agak  gugup. Beberapa  kali dia  mengamati   foto  di  rebewes, kemudian memandang  saya.

Tiba-tiba  ia  berdiri tegak, memberi  hormat  dengan tangan  ke  kepala  sambil  berkata  terputus-putus:  “Eh, Selamat  Malam  Pak, silakan jalan  terus.”  Ia  berkata  demikian  sambil lekas-lekas  mengembalikan rebewes  dan surat-surat  mobil  saya.

Barangkali  kisah ini  agak  mirip dengan cerita   rebewes  di atas  dan  dituturkan jauh hari  kemudian  oleh  keponakan sang  polisi pada  tahun  2000-an. Artinya   cerita   itu  belum pernah dipublikasikan sebelumnya?. Adakah  ada  kemiripan dengan  cerita yang diangkat dalam  biografi sebagaimana  diakui oleh  Sri  Sultan?

Dalam cerita  polisi  Brigadir Royani pernah   menilang  Sri  Sultan HB IX ketika  mengendarai  mobil melewati  daerah Pekalongan. Peristiwa tersebut  terjadi tahun 1960-an. Saat  itu  Sri Sultan  dianggap  Brigadir  Royani yang bertugas  telah  melanggar verbodden.   Keunikan  cerita ini, terjadi   ketika  polisi itu tetap  menilang   Sri Sultan.  Beliau  pun  mengakui  kesalahannya  dan   tidak  melawan dengan posisi dan kedudukannya.

Kehebohan justru  terjadi   di  markas  kepolisian Pekalongan. Brigadir  Royani dianggap tidak  tahu  adat, terlalu kaku, seharusnya   dia  melepaskan saja  mobil  Sri  Sultan.  Atasannya  marah  habis-habisan, sebab  urusannya bisa panjang   hingga  menteri.  Akhirnya  rebewes itu  dikembalikan  ke  Yogyakarta.

Brigadir  Royani   kebat- kebit dengan   sikap  keputusannya yang berani   menilang Sri  Sultan. Dia  siap-siap dipindahtugaskan. Biasanya  ditempat lebih  pelosok, seperti Pekalongan  Selatan.  Saat  itu  polisi  setingkat  brigadir  paling   dimodali  sepeda.

Beberapa  waktu  kemudian setelah peristiwa penilangan itu,  Brigadir  Royani  dipanggil atasannya. Ia  diminta  untuk pindah. Brigadir  Royani awalnya mengira  diminta pindah ke  Pekalongan Selatan, daerah  terpencil.

Namun  justru,    atasannya  menerangkan  bahwa   Brigadir  Royani  atas  sikap  ketegasannya  justru diminta Sri Sultan untuk  pindah  ke  Yogyakarta  dan  Sri Sultan  minta  pangkatnya  dinaikkan satu strip.

Namun, permintaan    Sri  Sultan  untuk   pindah  bertugas  dari  Pekalongan  Brigadir  Royani  tolak  dengan halus. Prinsipnya  ia  ingin hidup mengabdi  di Pekalongan. Sampai  akhir  tugasnya  Brigadir Royani  tidak pernah  bertugas  di Yogyakarta.

Sri Sultan  juga  tidak pernah  memaksakan agar  permintaan khususnya  tersebut  agar  dipatuhi. Justru, Ia  menghormati  keputusan Brigadir  Royani  untuk  tetap bertugas di Pekalongan.

Ikhtisar  Kisah Hingga Imogiri

Sikap-sikap  kepemimpinan  dan  patriotisme   Sultan HB IX sebagaimana  Ia  melewati  tantangan sejak  akan dicalonkan  menjadi Sultan. Ia  melawan kontrak  politik semena-mena  Belanda  atas  Keraton yang  diwakili Gubernur Adam, kemudian  diakhiri anti-klimaks  melalui wisik  yang diterima  di sore hari, setelah  berbulan-bulan  melakukan perundingan.

Selanjutnya setelah  dinobatkan  menjaid raja, ia  menolak   jika   harus   dibawa ke Australia  jika   Hindia  Belanda  diserang. Selanjutnya  saat  pendudukan Jepang yang terkenal  kejam  dengan siasat  mengendalikan Pemerintahan secara langsung dan sekaligus    menawarkan  proyek  pembangunan  Selokan Mataram sebagai  upaya  meminimalisir pengerahan  tenaga  Romusha.

Sri Sultan dan Kepemimpinan (I)

Saat proklamasi,  secara spontan   sehari  setelahnya langsung  menyatakan berdiri  di belakang  Republik Indonesia. Bahkan lebih jauh,  memperbolehkan Ibukota  republik  pindah ke  Yogyakarta  dan sekaligus   ikut mengeluarkan  dana  hingga  5  juta  gulden dalam ikut  membiayai  pemerintahan.

Sikapnya  yang  kukuh  sebagai  orang  Republikan  saat-saat genting  ketika  Yogyakarta  jatuh  dan para pimpinan   RI  ditangkap. Diplomasi  dan peran-peran selama   masa  pendudukan  Belanda atas  Yogyakarta  membuktikan   bahwa  kualitas  pendidikan   yang  ia  peroleh dengan  menyelami  cara  berfikir   orang Belanda  di  mana sejak  kecil  ia  tinggal bersama  mereka  membuahkan  hasil. 

Suatu  lompatan  pemikiran besar  sejak  tahun 1920 sejak  usia   empat tahun dititipkan pada pendidikan keluarga  Belanda  dituai  paling tidak  ketika Sang  Sultan  harus  berkali-kali  menghadapi   diplomasi  gawat dengan   orang-orang  dari bangsa yang ingin mereka  berkuasa kembali.

Sebagaimana diketahui setelah  Roem-Royen  tercapai kesepakatan, selanjutnya dilakukan   perundingan  Konferensi Meja Bundar di Den Hag  Belanda  yang  menghasilkan  proses pengakuan Kedaulatan pada  tanggal 27 Desember  1949.

Sesungguhnya  peran  SultanHB IX  tidak berhenti sampai  saat itu.

Sebab   beliau kemudian  juga berperan sebagai  Menteri Pertahanan beberapa kali  di  kabinet   yang terbentuk. Termasuk   juga  terpaksa menghukum rekan sekolah   masa kecil  yaitu  Mozes atau Sultan Hamid  II  disebabkan berencana  melakukan  pemberontakan   bersama Westerling  pada kejadian APRA di  Bandung.

Kabinet  saling  silih  berganti, menyusul  rapuhnya   sistem politik yang dibina  republik  yang masih  muda. Namun dalam setiap  peristiwa  gonjang-ganjing  republik, Sri Sultan HB IX  selalu diusulkan sebagai bagian dari Pemerintahan  yang hendak  disusun. Seperti saat  PresidenSoekarno  menujuk dirinya  menjadi  formatur  yang  akan  membentuk  kabinet. Konsepsi tersebut sontak menimbulkan  kegemparan, dan  pihak  oposisi  (terutama  PSI dan Masyumi) menunjuk   konsepsi agar  MantanWakil Presiden M. Hatta dan  Sri  Sultan memimpin kabinet.

Demikian  pula saat  akhir era Demokrasi  Terpimpin  dan   awal  Orde Baru, Sri  Sultan  HB IX  tampil  menjadi  triumvirat (bersama  Soeharto  dan Adam Malik) dalam  membentuk  Kabinet  Ampera.  Termasuk  juga  lobi-lobi  untuk  mendatangkan  modal  asing  bagi  keperluan program  pemerintahan Orde Baru.  Berdasar SU MPR 1973  diangkat  menjadi Wakil  Presiden  mendamping  Soeharto  yang dulu  menjadi pelaksana  gagasan Serangan Umum 1  Maret  1949.

Namun, dalam  Sidang Umum  tahun 1978,   beliau menolak  dicalonkan kembali.  Konon  kabarnya  ia  mulai tidak cocok dengan kebijakan Soeharto. Sri Sultan HB IX memilih tetap  di  keraton dan seabrek  kegiatan  sosial, seperti  gerakan  Pramuka dan  membina  dunia olahraga  di  KONI.

Senin, 3  Oktober  1988  dikabarkan  Sri  Sultan Hamengkubowono IX meninggal. Beliau  wafat  di  Wasinghton, Amerika Serikat ketika  direncanakan akan  menjalani  pemeriksaan kesehatan. Pemerintah  USA  menawarkan  akan mengantarkan  jenazahnya ke  Indonesia.

Namun, Presiden Soeharto  menolak, dan akan  menjemputnya  sendiri. Akhirnya disepakati,  pesawat angkatan udara USA  mengantarkan  hingga  Honolulu, Hawai.  Selanjutnya  Jenazah akan diangkut  pesawat  Garuda  ke  wilayah  Indonesia.

Air  Force  Two dari  Andrew AFB  membawa terbang    jenazah  HB IX   selama  sepuluh jam  dan mendarat  di  Pangkalan  militer USA ditengah  lautan  Pasifik. Selanjutnya   terjadi  serah terima  jenazah  Sultan  kepada   rombongan  yang ditugaskan dari  Indonesia  dengan  menggunakan  pesawat  DC -10  Garuda  Indonesia  hingga  sampai  ke  bandar  udara  Halim Perdana Kusuma Jakarta.

Pemerintah  USA  mengirim dua  panglima  militer  tertinggi  kawasan pasifik, Laksanama Huntington Hardistry  dan Jenderal Merril Mc. Peak sebagai  penghormatan  atas  kepergian  Sri  Sultan  HB IX.

Setelah diistirahatkan sebentar di  Bandara  Halim Perdanakusuma, disertai  tembakan  salvo  memecah  kesunyian pagi  Jenazah  Sri  Sultan  dilepas  Wakil Presiden Soedarmono.  Dengan  pesawat Hercules  menuju  kota Yogyakarta  untuk  menuju  peristirahatan  terakhirnya di  ImogiriYogyakarta.

Dia Menolak Jadi Wapres Soeharto

Penanggalan  Jawa  waktu itu  menunjukkan pekan terakhir malam   Sekaten. Akan tetapi datangnya berita duka  wafatnya   Ngarsa  Dalem langsung mematikan  Sekaten. Tidak ada lagi  hingar  bingar  suara  musik berikut  teriakan penjual  makanan. Semuanya berada dalam  hening, digantikan  kumandang bacaan  ayat-ayat  suci  al-Quran secara terus  menerus  dari  puncak  menara mesjid  Agung.

Laporan  Tempo yang meliput  peristiwa itu  melukiskan, “..Perjalanan kereta  jenazah  sering  harus  berhenti. Akibat desakan  massa  yang  melaut serta  campur aduk. Sesekali  terdengar  isak  tangis  menyuarakan  Ingkang Sinuhun  atau Ngarsa Dalem.

Sepanjang  jalan, kerumunan  massa semakin  menggila  jumlahnya.  Mereka  memadati  bukan saja  semua  sisi  jalan, tetapi  juga  pohon, atap  rumah, tembok, atau  tempat umum  manapun yang kosong. Jalan sepanjang  17 kilometer  penuh sesak. Jumlah  mereka   mungkin ratisan  ribu, atau  malah  diatas  satu  juta..”

“Le  roi  est mort”. Raja mangkat. Hiduplah Raja.  Kata-kata  bersayap  itulah  yang dikumandangkan  mengantarkan kepergian  Sri  Sultan HB IX.

Sultan  yang hidup  dalam sejarah  dan kenangan  Bnagsa  Indonesia. Ia  pengawal setia Republik  Indonesia  tanpa  pamrih.

Refrensi:

Buku  Tahta Untuk Rakyat, Celah Celah Kehidupan  Hamengkubowono IX,  Atmakusumah (Penyunting), Kompas  Gramedia, Jakarta, 2002.

Aryadi Noersaid  http://www.positif.or.id/en/sultan-hb-ix-polisi-pekalongan-the-untold-story/  unduh 16  Juli 2020

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement