Selasa 28 Jul 2020 06:40 WIB

Gandeng Perhutani, Kemenkop Siapkan 10 Pilot Project Pangan

Kemenkop akan melakukan program transformasi Gapoktan.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Teten Masduki.
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Teten Masduki.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koperasi dan Usah Kecil Menengah (Kemenkop UKM) menggandeng Perum Perhutani dalam mengembangkan koperasi pangan. Saat ini kementerian sudah memiliki rencana kerja dengan Perhutani Divisi Regional Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

"Ada lima sampai 10 pilot project yang disiapkan. Kami sudah dalam tahap mapping lahan serta pembiayaan, setelah kami pelajari dari berbagai pertemuan dengan organisasi tani," ujar Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam webinar yang digelar Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Senin (27/7).

Baca Juga

Ia menjelaskan, kebanyakan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sebenarnya sudah dalam skala ekonomi. Hanya saja minimum lahan yang digarap baru 100 hektar sampai 200 hektar.

"Dalam konsep kami, minimum 10 ribu hektar. Setiap 1.000 hektar, ada satu RNI (Rajawali Nusantara Indonesia). Sebab selama ini, Gapoktan tidak memiliki badan hukum, sehingga unbankable," tutur Teten.

Maka, kata dia, Kemenkop sudah berbicara dengan Menteri Pertanian dan beberapa gubernur di Jawa Tengah, Jawa Barat, serta Jawa Timur, terkait program transformasi Gapoktan menjadi koperasi, dengan skala luas lahan yang ekonomis. "Kita coba gabungkan antara perhutanan nasional dan Gapoktan yang sudah ada," jelasnya.

Dari sisi pembiayaan yang merupakan masalah utama sektor pangan khususnya pertanian, kata Teten, kementerian telah mencatat empat jenis pembiayaan. Pertama, modal kerja untuk petani anggota koperasi, guna membeli bibit, mengolah lahan, dan lainnya. 

Kedua, yakni modal investasi. "Ini saya kira setiap koperasi harus punya lahan dari hasil produksinya," ujarnya.

Ketiga, sambung dia, yaitu modal talangan. Ketika produk dijual ke pasar, misal ke food station di mall, pembayarannya akan mundur sekitar satu sampai tiga bulan, sehingga petani perlu dana talangan.

"Keempat yakni perlu bagi koperasi sebagai off taker, mereka perlu membeli produknya (petani). Dengan begitu, yang berhdadapan dengan market adalah koperasi, bukan petani orang perorang, sehingga petani terlindungi," tuturnya.

Koperasi pangan, lanjut Teten, nantinya menjadi pusat konsolidasi petani. Dengan begitu, petani bisa menanam atau memproduksi varietas sesuai musim serta minat pasar.

"Seperti beras pun, kami pelajari dari data di e-comerce atau di Cipinang, ada 40 jenis beras yang setiap saat beda kebutuhannya. Petani harus perhatikan ini kalau mau menjaga keuntungan maksimum," tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement