Senin 27 Jul 2020 20:07 WIB

Pahala Memelihara Anak Yatim

Idealnya, di dalam setiap rumah tangga muslim ada anak yatim yang dipelihara.

(Ilustrasi) Menyantuni anak yatim. Lebih baik lagi dari itu, memelihara anak yatim.
Foto: Republika/mardiah
(Ilustrasi) Menyantuni anak yatim. Lebih baik lagi dari itu, memelihara anak yatim.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

Allah SWT berfirman, “Mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah, “Memperbaiki keadaan mereka adalah baik.” (QS. al-Baqarah/2: 220). Sebab, menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, pada masa Jahiliah orang-orang biasa memanfaatkan harta anak-anak yatim. Selain itu, mereka menikahi anak perempuan yatim untuk menguasai hartanya.

Allah SWT memberi peringatan kepada mereka, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, mereka itu menelan api sepenuh perutnya.” (QS. al-Nisa/4: 10). Namun Allah SWT memberi solusi, “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat.” (QS. al-An’am/6: 152).

Selanjutnya, menurut Syaikh Nawawi Banten, orang-orang tidak lagi mau mencampuri  dan mendekati harta anak yatim. Entah karena takut ancaman  ayat di atas atau karena alasan lain, mereka juga tidak mau mengurusi anak yatim. Akibatnya, anak yatim jadi terbengkalai dan kehidupan mereka tidak terperhatikan sehingga jadi memburuk.

Di dalam Tafsir Munir, dituturkan oleh Syaikh Nawawi Banten soal keberatan Abdullah Ibnu Rawahah mengenai keadaan tersebut. Ia lalu bertanya kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah, kini kami tidak memelihara anak yatim lagi di rumah kami. Kamipun tidak menemukan makanan dan minuman yang akan diberikan kepada mereka.

Lalu, bolehkah kami menyertakan anak-anak yatim dalam urusan makan, minum, dan tempat tinggal mereka?” Terkait pertanyaan ini, lalu turunlah ayat, “Katakanlah, “Memperbaiki keadaan mereka adalah baik.” (QS. al-Baqarah/2: 220). Namun tetap saja, mengurus harta mereka secara patut tanpa meminta upah lebih baik dan lebih besar pahalanya.

Bahkan Nabi SAW bersabda,“Orang yang memelihara anak yatim di kalangan umat muslimin, memberikannya makan dan minum, pasti Allah akan memasukkannya ke dalam surga, kecuali ia melakukan dosa yang tidak bisa diampuni.” (HR. Turmudzi). Dosa yang tak terampuni tak lain adalah syirik sebelum sempat bertobat.

Surga yang diberikan kepada orang yang mengurus anak yatim berdekatan dengan surga yang Allah SWT persembahkan untuk Nabi SAW. Beliau bersabda, “Aku dan orang yang mengasuh atau memelihara anak yatim akan berada di surga begini”. Lalu beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggangkannya sedikit” (HR. Bukhari).

Idealnya, di dalam setiap rumah tangga muslim ada anak yatim yang dipelihara. Pertama, memelihara anak yatim sekaligus memelihara harta mereka dengan sedikitpun tidak mengambil upah. Kedua, memelihara mereka dengan sepenuhnya menjamin kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pendidikan mereka. Keduanya adalah ibadah yang berpahala besar.

Allah SWT memuji langkah seperti ini, “Dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu. Dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan.” (QS. al-Baqarah/2: 220). Mereka yang berbuat kerusakan dan yang berbuat perbaikan, kata pengarang Tafsir Jalalain, akan mendapat balasan setimpal.

Di dalam Tafsir Jalalain terungkap, yang dimaksud dengan , “Dan jika kamu bergaul dengan mereka”, adalah “Kamu campurkan pengeluaran kamu dengan pengeluaran mereka” bukan sebaliknya, “Kamu campurkan pengeluaran mereka dengan pengeluaran kamu”. Inilah makna memelihara anak yatim yang berbuah pahala.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement