Ahad 26 Jul 2020 18:48 WIB

Bingkisan yang Tertukar

Ibu, Fai merindukan Ibu, hari ini kejadian bingkisan tertukar terjadi lagi.

Bingkisan yang Tertukar
Foto:

Tahun pertama dilalui Rifai dengan senang hati. Ia mau belajar dari apa yang belum ia pelajari. Rifai sosok yang sungguh-sungguh. Pekerjaannya selalu tuntas. Warga sekolah menyukainya.

Ia diakui berbakat dan cepat beradaptasi. Menjadi seorang guru honorer adalah suatu hal baru untuk Rifai. Latar belakang keluarganya tidak ada yang menjadi guru. Awalnya memang sedikit sulit untuk mengajar, tapi lama-kelamaan Rifai terbiasa.

Didukung dengan dasar sekolah Islam, kegiatannya pun banyak diisi dengan kegiatan agama dan sosial. Rifai banyak belajar agama sejak kecil, menjadi seorang guru adalah momen pengaplikasian ilmu agama yang dimilikinya.

Tibalah tahun kedua Rifai bekerja di sekolah swasta ini. Pekerjaan makin hari makin banyak. Rifai dipercaya memegang administrasi sekolah sekaligus guru kelas.

Setiap hari Rifai pulang telat, lembur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ia tidak banyak mengeluh, hanya terkadang bergumam kelelahan. Rifai bersyukur dengan pengalaman hidup yang dilewatinya.

Rifai berencana untuk membuka jasa desain dan fotokopi dari hasil pekerjaannya sebagai guru. Sebagian uang yang ia tabung akan ia gunakan untuk membeli peralatan dan perlengkapan membuka jasa tersebut.

Rifai memang sangat berbakat soal mendesain. Karena itu, ia ingin menggunakan bakatnya untuk bekerja.

Sudah sering Bunda memanggil Rifai untuk datang di rumahnya. Malam itu Rifai makan dengan Bunda, ayah, dan anak bungsunya. Obrolan-obrolan ringan antarmereka berempat selalu renyah diselingi canda tawa.

Lagi-lagi, Bunda merindukan anak-anaknya di perantauan. Mereka pulang hanya setahun sekali. Sedangkan, Rifai sejak awal merantau belum pulang lagi ke kampung halaman. Rifai hanya mengirim surat atau pesan singkat, dan beberapa lembar uang dari hasil pekerjaannya.

"Kamu tidak niat pulang tahun ini, Nak?" tanya bunda kepada Rifai.

"Tahun ini saya berencana pulang kampung Bunda, insya Allah," jawab Rifai. "Saya sudah beli tiket pulang Bunda, kira-kira tanggal 30 Mei saya akan pulang," lanjut Rifai.

"Kalau begitu sampaikan salam Bunda sekeluarga untuk keluargamu ya, Nak," jawab Bunda.

"Iya, Mas Fai, bawakan oleh-oleh yang banyak untuk saya ya!" ujar anak bungsu Bunda dengan semangat.

"Insya Allah Mas bawakan satu dus sebesar kulkas. Mau?" jawab Rifai sambil tertawa. Sebelum pulang Bunda membekali Rifai mi ayam untuk dimakan di kontrakan.

Selepas Rifai pulang, Bunda membereskan meja makan dan memasukkan sisa makanan ke dalam kulkas. Bunda terkejut, kantong keresek hitam yang seharusnya berisi cabai berubah isinya menjadi mi ayam. Bunda baru ingat bahwa di dapur tadi ada dua keresek hitam, satu berisi mi ayam untuk Rifai dan satunya lagi berisi cabai hasil belanja dari pasar kemarin.

Ah, ternyata bungkusan mi ayam yang dibawa Rifai adalah cabai punya Bunda. Bunda langsung menelepon Rifai agar kembali ke rumahnya untuk menukar bungkusan tertukar itu.

Di kontrakan, sebelum menerima telepon dari Bunda, Rifai terkejut saat membuka keresek. Isinya cabai, bukan mi ayam.

Di telepon, keduanya langsung tertawa menyadari bingkisan yang tertukar itu. Bisa-bisanya Bunda lupa, salah ambil keresek untuk Rifai.

Malam itu juga Rifai langsung kembali ke rumah Bunda mengantar keresek berisi cabai. Bunda meminta maaf.

Rifai menikmati ronde kedua makan mi ayam di kontrakan sendirian berteman angin malam. Sambil tersenyum ia mengingat. Dulu waktu Rifai kelas 3 SD, sepulang sekolah Rifai mengantar makan siang Bapaknya di sawah. Kadang sendiri kadang berdua dengan ibunya.

Suatu hari, Rifai mengantar makan siang Bapaknya di sawah bersama Ibu. Ibu sudah semangat sekali menyiapkan menu makanan kesukaan Bapak, apalagi kalau bukan sayur nangka. Ibu menyiapkannya di rantang lalu dibungkus dengan kain batik.

Fai, ayo makanan bapak sudah siap.Tolong ambil rantangnya di atas meja makan, Ibu sedang mencari arit, mau dibawa ke sawah, teriak Ibu dari belakang dapur rumah.

"Baik Bu, Fai tunggu di depan rumah," jawab Rifai dari kamarnya sambil mengganti seragam sekolah.

Angin sepoi-sepoi, suara air mengalir, padi-padi yang tumbuh, suasana desa yang asri, jalan tapak yang dilalui terasa sangat singkat dan akhirnya sampai di gubuk milik Bapak.

"Bapak, ayo makan siang dulu!" kata Rifai sambil setengah berteriak. Bapaknya masih menggiling padi hasil panen hari ini. Bapak Rifai menepi dan bersiap makan bersama anak dan istrinya.

"Hahh, kok makanannya berubah."

Ekspresi kaget dari wajah ibunya tak bisa ditutupi, setengah teriak ibunya langsung melirik ke arah Rifai. Rifai sontak melihat ke arah ibunya.

"Fai tidak tahu Bu, Fai hanya mengambil bingkisan yang ada di meja, sebenarnya Fai bingung, mengapa makanannya ringan sekali," kata Rifai.

"Loh makanannya mana? Kok malah bawa toples kosong semua," ujar Bapak. Ibu hanya tertawa sendiri, sedangkan Rifai dan Bapaknya kebingungan.

"Ibu lupa kasih tahu, kalau rantangnya masih di dapur belum ibu bawa ke meja makan. Ini toples yang baru diantar Mbak Eni tadi pagi. Ibu lupa, betul-betul lupa," ujar Ibu sambil setengah menertawakan dirinya.

Rifai lekas pulang ke rumah untuk mengambil rantang makan siang dan bergegas kembali ke sawah Rifai mengingat kenangan itu, seperti yang terjadi hari ini. Ibu, Fai merindukan Ibu, hari ini kejadian bingkisan tertukar terjadi lagi, gumamnya dalam hati sambil menikmati mi ayam dan tersenyum geli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement