Sabtu 25 Jul 2020 13:45 WIB

Pahala Memuliakan Tamu

Memuliakan tamu  cermin penghargaan Islam terhadap hak-hak individu dan sosial.

Adab bertamu/Ilustrasi
Adab bertamu/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

Salah satu karakteristik penting dalam masyarakat Islam yang terbuka adalah memuliakan tamu. Memuliakan tamu merupakan cermin penghargaan Islam terhadap hak-hak individu dan sosial. Karena itu Nabi SAW memberi justifikasi, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini memberi indikasi bahwa ada kaitan antara iman seseorang dengan memuliakan tamu. Di samping itu, memuliakan tamu juga berefek positif bagi kehidupan akhirat. Jadi Islam memandang tamu tidak hanya sebagai entitas penting dalam membangun kehidupan manusia dalam berbagai aspek di dunia, tapi juga jadi ukuran keimanan seseorang.

Tamu dan didatangi tamu adalah simbol kerja sama. Artinya, ada praktik tukar-menukar informasi, kepentingan, dan kebutuhan di dalamnya. Bagi Imam al-Ghazali, seperti dituturkannya dalam Ihya Ulumuddin, manusia sedemikian rupa diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang tidak bisa hidup sendirian. Takdirnya, manusia adalah makhluk berkelompok.

Oleh karena itu, lanjut Imam al-Ghazali, manusia membutuhkan makhluk sejenis, baik untuk berkumpul maupun bertukar kebutuhan. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan primer (dharruriyyat), sekunder (hajiyyat), dan tertier (takhsiniyyat). Secara praksis, sebagai pintu awal untuk memenuhi ketiga kebutuhan ini adalah bertamu dan menerima tamu.

Dalam sejarah sosiologi Islam, memuliakan tamu telah dipraktikkan oleh Nabi Ibrahim. Allah SWT berfirman, ”Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (para tamu) sambil berkata, “Tidakkah kalian makan?” (QS. al-Dzariyat/51: 26-27). 

Namun, Allah SWT berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya. Namun, jika kamu diundang, masuklah. Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan” (QS. al-Ahzab/33: 53).  

Ini artinya ada etika yang harus dipanggul oleh tamu. Nabi SAW juga bersabda, ”Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari).

Jadi bertamu yang direkomendasikan dalam Islam adalah. Pertama, masuk apabila diizinkan atau diundang. Kedua, memakan makanan yang disediakan. Ketiga, tidak memperpanjang pembicaraan. Keempat, berkata dengan cara yang baik atau memilih diam. Kriteria tamu seperti ini juga kiranya yang pantas untuk dimuliakan.

Sejatinya kian banyak orang yang datang bertamu menandakan bahwa seseorang memiliki pergaulan yang luas, disenangi, dan ada yang dibutuhkan orang lain darinya. Oleh karena itu, salah satu cara merawatnya adalah dengan memulikan tamu dengan berbagai cara, seperti menyambutnya dengan senyum dan perkataan baik serta menyediakan makanan.

Nabi SAW memberi kabar, ”Apabila seorang tamu masuk ke rumah seorang mukmin, maka masuk pula bersama tamu itu seribu rahmah dan seribu berkah. Allah akan menulis untuk pemilik rumah itu pada setiap suap makanan yang dimakan oleh tamunya seperti pahala haji dan umrah.” (HR. Dailami). Inilah pahala memuliakan tamu yang begitu hebat.

Semoga rumah kita termasuk rumah yang senantiasa dimasuki tamu sehingga kita mendapatkan dua pahala sekaligus. Pertama, pahala dunia berupa adanya kemudahan untuk saling bertukar informasi dan kebutuhan baik primer, skunder, dan tetier. Kedua, pahala akhirat, berupa masuknya seribu rahmah dan seribu berkah ke dalam rumah. Termasuk, pahala seperti haji dan umrah.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement