Kamis 23 Jul 2020 20:33 WIB

Sudahkah Ekonomi Global Berada di Jurang Krisis?

Pandemi membuat investor melarikan uangnya dari emerging market dalam semalam.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Resesi ekonomi.
Foto: Tim Infografis Republika.co.id
Resesi ekonomi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perekonomian dunia mengalami penderitaan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dilansir DW, Kamis (23/7), kondisi ini bahkan lebih buruk setelah jatuhnya Lehman Brothers pada 2008.

Pandemi membuat investor melarikan uangnya dari emerging market dalam semalam. Di fase awal saja, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan lebih dari 100 miliar dolar AS ditarik dalam sekejap.

Baca Juga

"Ini krisis yang lain daripada yang lain, tanpa pemulihan yang pasti," kata IMF dalam outlook-nya bulan Juni.

Negara maju mungkin kehilangan 1-2 tahun pertumbuhan ekonominya, tapi negara berkembang dan emerging countries terancam kehilangan satu dekade pertumbuhan. Menggarisbawahi seriusnya situasi, bos IMF Kristalina Georgieva mengatakan sebelumnya tidak pernah ada begitu banyak permintaan bantuan ke IMF sejak 1945, saat IMF didirikan.

 

Para elit global ini mengkhawatirkan krisis berkelanjutan akan menyeret sektor keuangan ke batas kemampuannya. Menambah situasi pesimistis, Bank Dunia menyebut perekonomian emerging market akan turun 2,5 persen pada 2020.

"Ini tidak terlalu buruk karena negara-negara industri kemungkinan turun lebih dalam sampai delapan persen," katanya.

Tetap saja, proyeksi penurunan di emerging market tersebut terendah sejak 1960. Sementara itu, aliran dana juga melandai dengan data awal pada Juni sudah masuk ke emerging market tapi akhirnya ditarik kembali. Tidak semua negara mengalami.

Di daratan Eropa, Rusia terpukul cukup parah. Namun analis di IHS Markit menilai ada negara lain yang juga mengalami kondisi sulit seperti Montenegro, Bosnia-Herzegovina, Armenia, Turki dan Kroasia. Pariwisata di Montenegro punya porsi 20 persen dari PDB. Sementara Turki 12 persen, Filipina sekitar 25 persen, dan Thailand 22 persen.

"Bahkan negara besar seperti China dan India yang tidak tergantung dengan pariwisata terimbas sangat parah karena pembatasan," katanya.

Di negara-negara yang sudah kesulitan bahkan sebelum pandemi, efeknya akan lebih parah. Meski mereka mengklaim tingkat korban lebih rendah, kondisi perekonomiannya dinilai akan tetap jatuh lebih dalam.

Kekhawatiran karena tingginya nilai utang perusahaan di negara-negara tersebut. Apalagi pergerakan nilai tukar masih bergejolak. Belum lagi upaya keras mereka dalam mengatur stabilitas moneter hingga paket stimulus bagi perusahaan dan masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement