Kamis 23 Jul 2020 16:51 WIB

Turki dan Rusia Sepakat Gencatan Senjata Libya

Haftar harus keluar dari kota strategis Sirte yang kaya ladang minyak.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Milisi Khalifa Haftar serang Tripoli Libya
Foto: Anadolu Agency
Milisi Khalifa Haftar serang Tripoli Libya

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki dan Rusia sepakat untuk mendesak gencatan senjata di Libya. Ankara meminta pasukan Libyan National Army (LNA) menarik diri dari posisi-posisi penting agar gencatan senjata dapat berjalan dengan efektif.

Moskow dan Ankara adalah pemain utama dalam konflik Libya. Rusia mendukung pasukan LNA yang dipimpin oleh Khalifa Haftar, yang berbasis di wilayah timur. Sementara, Turki mendukung kelompok Government of National Accord (GNA) yang berbasis di Tripoli.

Baca Juga

"Kami baru saja mencapai kesepakatan dengan Rusia untuk mengerjakan gencatan senjata yang kredibel dan berkelanjutan di Libya," kata penasihat keamanan utama Presiden Recep Tayyip Erdogan, Ibrahim Kalin, kepada kantor berita Reuters.

Kalin mengatakan, kesepakatan gencatan senjata harus diikuti dengan penarikan pasukan Haftar dari kota strategis Sirte yang merupakan pintu gerbang ke ladang minyak di timur Libya, dan al-Jufra yang merupakan pangkalan udara. "Agar gencatan senjata bisa berkelanjutan, pasukan Haftar harus dievakuasi dari Jufra dan Sirte," ujarnya.

Pasukan GNA yang didukung Turki dan diakui PBB telah bersumpah untuk merebut kembali Sirte dan pangkalan udara al-Jufra. Amerika Serikat (AS) mengatakan, Moskow mengirim pesawat perang ke al-Jufra melalui Suriah untuk mendukung tentara bayaran Rusia yang bertempur bersama LNA. Namun Rusia dan LNA menyangkal pernyataan tersebut.

Sementara itu, Mesir yang mendukung LNA telah mengancam akan mengirim pasukan militer ke Libya jika GNA dan pasukan Turki berusaha merebut Sirte. Pada Ahad (19/7) lalu, parlemen Mesir memberikan lampu hijau untuk kemungkinan intervensi militer di Libya.

Kalin mengatakan, pengerahan militer Mesir di Libya dapat menghampat upaya untuk mengakhiri peperangan. "Saya percaya ini akan menjadi petualangan militer yang berbahaya bagi Mesir," kata Kalin.

Menteri Luar Negeri Mesir, Sameh Shukry mengatakan, untuk mencapai solusi politik di Libya membutuhkan respons yang  tegas terhadap ekstremis dan campur tangan asing. Menurut Shukry mereka tidak hanya mengancam kepentingan Mesir tetapi juga keamanan negara-negara Mediterania. Shukry menambahkan, proposal perdamaian yang diumumkan di Kairo bulan lalu bertujuan untuk menstabilkan kondisi Libya.

Proposal yang diumumkan oleh Presiden Mesir, Abdul Fattah el-Sisi mencakup gencatan senjata. Kubu LNA menerima proposal yang disebut Deklarasi Kairo, sementara pemerintah yang berbasis di Tripoli menolaknya.

Sementara kesepakatan gencatan senjata oleh Turki dan Rusia merupakan seruan untuk membuka akses kemanusiaan bagi mereka yang membutuhkan, serta upaya untuk mempromosikam dialog politik antara LNA dan GNA.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement