Kamis 23 Jul 2020 16:21 WIB

Mitigasi Bencana Mulai Sinergikan Kearifan Lokal

Setiap wilayah mempunyai cara masing-masing dalam manajemen kebencanaan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Mahasiswa UNY saat mewawancarai narasumber terkait mitigasi bencana berbasis kearifan lokal.
Foto: Dokumen.
Mahasiswa UNY saat mewawancarai narasumber terkait mitigasi bencana berbasis kearifan lokal.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Gempa bumi jadi satu bencana geologi yang sering melanda Indonesia. Gempa bumi tektonik, salah satunya, merupakan hentakan bumi secara tiba-tiba akibat pelepasan energi yang terakumulasi disebabkan oleh tumpukan lempeng.

Pada 27 Mei 2006, gempa besar pernah terjadi di DIY dengan kekuatan 5,9 skala richter yang menelan lebih dari 5.500 korban jiwa dan ribuan warga luka-luka. Sesar atau patahan aktif penyebabnya teridentifikasi membentuk garis lurus.

Untuk mengurangi risiko bencana, setiap wilayah mempunyai cara masing-masing dalam manajemen kebencanaan, menyesuaikan potensi dan kebiasaan masyarakat. Hal ini diteliti mahasiswa-mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Khususnya, terkait kearifan lokal yang ada di sekitar sesar Opak Bantul yang disinergikan sebagai mitigasi bencana. Ada Jainudin dan Anisa Hanan Qonita (Prodi Pendidikan Geografi) serta Nur Fauzi (Prodi Ilmu Administrasi Publik).

Jainudin mengatakan, di sana ada pengenalan tanda-tanda alam dan pengenalan perilaku hewan. Ada pula sistem kehidupan masyarakat yang melakukan upaya-upaya dalam rangka sesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang berbahaya.

"Kearifan lokal berupa perilaku dan budaya masyarakat dalam upaya beradaptasi dengan kondisi tempat tinggal yang memiliki potensi bahaya gempa bumi yaitu masyarakat membangun rumah joglo sebagai bangunan tahan gempa," kata Jainudin.

Mereka meneliti Desa Parangtritis dan Desa Donotirto di Kecamatan Kretek, Desa Bawuran dan Desa Segoroyoso di Kecamatan Pleret. Selain observasi, metode yang mereka gunakan wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka.

Anisa menjelaskan, kearifan lokal dalam mitigasi bencana seperti pengenalan tanda alam (semiotika fisikal) berupa suara gemuruh bila akan terjadi gempa. Serta, terbentuknya retakan-retakan tanah bila akan terjadi bencana longsor.

"Perilaku hewan (semiotika) tidak banyak dijumpai. Misalnya, keluarnya hewan yang hidup dalam tanah bila akan terjadi bencana gempa bumi," ujar Anisa.

Masyarakat sekitar Sesar Opak banyak yang membangun rumahnya dengan model tahan gempa. Seperti pondasi minimal besi 12 milimeter, sistem pengecoran pasir, coral, dan semen, harus ada ring dan slope sebagai penahan guncangan.

Rumah tahan gempa ini sudah diterapkan di beberapa desa karena biaya yang lebih murah dibanding membangun rumah tahan gempa seperti rumah kayu (joglo). Rumah joglo ini sendiri memiliki risiko lebih rendah dibanding rumah tembok.

Namun, rumah joglo memang memerlukan biaya yang tinggi karena keseluruhan rumah menggunakan kayu. Meski begitu, hal-hal itu semakin membuktikan jika kearifan lokal memang mulai dimanfaatkan sebagai komponen mitigasi bencana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement