Kamis 23 Jul 2020 14:20 WIB

KPAI Urai Kasus Tunjukkan Pentingnya Sekolah Bijak Saat PJJ

Saat PJJ sekolah yang tidak bijak akan sebabkan anak stres.

Akbar siswa SMP 67 Jakarta belajar online bersama temannya di rumahnya di kawasan Kampung Pemanpungan Gasong, Jakarta, Selasa (21/7). Sejumlah orang tua mengaku kesulitan mengajar anak saat belajar dirumah, selain itu mengalami kendala biaya kuota internet akibat keterbatasan pendapatan ekonomi. KPAI masih terus menemukan kasus PJJ yang sekolahnya tidak bijak ke siswa.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Akbar siswa SMP 67 Jakarta belajar online bersama temannya di rumahnya di kawasan Kampung Pemanpungan Gasong, Jakarta, Selasa (21/7). Sejumlah orang tua mengaku kesulitan mengajar anak saat belajar dirumah, selain itu mengalami kendala biaya kuota internet akibat keterbatasan pendapatan ekonomi. KPAI masih terus menemukan kasus PJJ yang sekolahnya tidak bijak ke siswa.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Shelbi Asrianti

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring yang dilakukan selama pandemi Covid-19 memang tidak mudah. PJJ mungkin bisa dibilang hanya efektif berlaku di hanya sedikit rumah di Tanah Air.

Baca Juga

Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengatakan banyak siswa mengalami tekanan secara psikologi hingga putus sekolah karena berbagai masalah yang muncul selama mengikuti PJJ. "Banyak anak tidak bisa mengakses PJJ secara daring, sehingga banyak dari mereka yang tidak naik kelas sampai putus sekolah," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam keterangan pers, Kamis (23/7).

Ia mengatakan KPAI telah menerima sejumlah pengaduan yang menunjukkan guru dan sekolah tetap mengejar ketercapaian kurikulum meski di tengah kesulitan yang dialami masyarakat akibat dampak pandemi. Padahal, Surat Edaran (SE) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 4 Tahun 2020 menyebutkan selama PJJ guru tidak boleh mengejar ketercapaian kurikulum karena keterbatasan waktu, sarana, media pembelajaran dan lingkungan yang dapat menjadi kendala selama proses pembelajaran.

Namun, faktanya banyak guru tetap mengejar ketuntasan kurikulum dengan cara memberikan tugas terus menerus pada siswa mereka selama PJJ. Retno menduga akibat keegoisan sekolah untuk menuntaskan pencapaian kurikulum, banyak siswa merasa terbebani hingga mengalami tekanan secara psikologi, tidak naik kelas, bahkan sampai putus sekolah. "Padahal, siswa kelelahan dan tertekan merupakan bentuk kekerasan juga," kata Retno.

Ia memberikan contoh kasus anak yang sampai dirawat di rumah sakit karena beratnya penugasan selama PJJ. Kemudian, ada juga siswa tidak naik kelas karena tidak bisa mengikuti PJJ atau mengikuti ujian secara daring. "Yang paling parah adalah anak-anak berkebutuhan khusus yang nyaris tidak terlayani oleh pendidikan," katanya.

Ia mengatakan seorang siswa SMAN di salah satu sekolah di DKI Jakarta mengalami kelelahan dan stres saat mengerjakan tugas-tugas sekolah. Terutama pada tugas mata pelajaran kimia.

Siswa tersebut sudah berusaha menyelesaikan tugas-tugas berat yang waktu pengerjaannya pendek itu. Tetapi karena kelelahan, siswa tersebut jatuh sakit hingga harus dilarikan ke IGD salah satu rumah sakit.

Selain itu, ada juga siswa SMA Negeri di Nganjuk, Jawa Timur, berinisial RVR yang dilaporkan tidak naik kelas karena tidak bisa mengikuti ujian Penilaian Akhir Tahun (PAT) secara daring. Siswa tersebut tidak bisa ikut ujian karena komputer jinjing milik siswa kelas X tersebut rusak.

Nilai akhir siswa tersebut di dalam rapor tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM). Adapun lima mata pelajaran tersebut adalah Pendidikan Agama, Pendidikan Jasmani, Seni Budaya, Sejarah Indonesia, dan Informatika.

"Ada faktor kerusakan perangkat, keterbatasan kuota, masalah sinyal dan hambatan teknis lainnya. Mestinya sekolah bersikap bijak dan tidak bertindak semaunya," kata Retno.

Kebijakan untuk mempertimbangkan berbagai kendala yang dihadapi siswa tersebut, katanya, perlu benar-benar diperhatikan oleh sekolah mengingat PJJ yang dilakukan secara daring masih akan dilaksanakan selama semester ini. Sehingga kasus siswa tidak naik kelas karena kesulitan PJJ daring dapat diminimalkan.

Sementara itu, selain kasus anak putus sekolah, KPAI juga menerima laporan salah satu SMKN di Jawa Timur tidak menaikkan siswa karena siswa tersebut tidak menyerahkan tugas-tugas selama PJJ daring. Orang tua siswa bersikeras mengatakan bahwa anaknya sudah menyerahkan tugas meskipun waktu penyerahannya sudah mendekati tenggat waktu.

Orang tua tersebut mengatakan selama pandemi, tidak ada interaksi antara guru dengan siswa. Para siswa hanya diberi penugasan.

Orang tua siswa tersebut kemudian dipanggil oleh sekolah dan sekolah tempat anaknya belajar itu mengatakan anaknya akan diberikan kelonggaran jika bersedia dimasukkan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Anak tersebut memiliki IQ 89 dan kesulitan dalam menulis, padahal mayoritas penugasan selama PJJ adalah menulis.

Namun, orang tuanya mengaku bahwa anaknya memiliki kemampuan verbal dan psikomotor yang baik. Anak tersebut kemudian menjadi tertekan secara psikologis karena dirinya dianggap sebagai anak berkebutuhan khusus. Akhirnya, orang tua siswa tersebut lebih memilih anaknya mengundurkan diri dari sekolah tersebut.

"Jika kehadiran yang dipakai sebagai ukuran dalam PJJ secara daring sebagai nilai sikap, lalu bagaimana dengan yang tidak punya alat dan kuota internet sehingga tidak bisa mengikuti PJJ secara daring," kata Retno.

"Jangan-jangan banyak anak yang tidak naik kelas dan akhirnya putus sekolah. Sebagian anak di Nusa Tenggara Barat yang tidak bisa PJJ daring juga memilih untuk menjadi pekerja anak untuk membantu ekonomi keluarganya," paparnya.

Keterbatasan memang menjadi masalah utama dalam PJJ. Pemerhati anak Manado, Piet Hein Pusung, sangat prihatin dengan anak-anak kurang mampu yang sulit mengikuti pelajaran secara daring karena keterbatasan fasilitas pendukung.

"Kami sangat prihatin, karena dengan kondisi pandemi virus corona membuat aktivitas belajar harus dilakukan di rumah masing-masing dan secara online," kata Pusung.

Pusung mengatakan kondisi ini membuat sejumlah guru dan orang tua menyatakan khawatir dengan perkembangan akademik para siswa setelah diterapkannya PJJ. Dia mengatakan, keterbatasan fasilitas pendukung hingga ketidaksiapan siswa belajar di rumah, mengakibatkan capaian akademik siswa tertinggal.

"Ada orang tua siswa yang berharap anaknya segera kembali ke sekolah, tapi ada juga yang tidak sepakat kegiatan belajar secara tatap muka diberlakukan karena alasan kesehatan," kata Pusung yang juga sebagai Kepala Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Puspa di Manado, Sulut.

Pusung mengatakan di tahun ajaran baru ini PAUD Puspa belum bisa menerima siswa baru, karena kondisi saat ini yang tidak memungkinkan. Dia menjelaskan PAUD Puspa dikhususkan untuk anak-anak kurang mampu tanpa harus membayar uang sekolah, namun dengan kualitas pendidikan yang tidak kalah dengan yang lain.

Saat ini, katanya, yang menjadi kendala ada banyak siswa yang tidak mengikuti pembelajaran secara daring karena sebagian besar orang tua tidak memiliki gawai pintar (smart phone). Akibatnya, PAUD Puspa belum bisa menerima siswa baru.

Pusung mengatakan di Hari Anak Nasional (HAN) yang diperingati setiap tanggal 23 Juli, walaupun di tengahpandemi, diharapkan semangat untuk melindungi dan memberikan yang terbaik pada anak-anak Indonesia tidak luntur. Walaupun dalam kondisi pandemi, ia meminta agar anak-anak tidak sedih dan putus asa.

"Saat ini, anak-anak harus belajar, ibadah, main, olahraga di rumah sehingga tidak bisa berkumpul dengan teman-teman seperti biasanya. Meskipun kurang nyaman, bukan berarti harus sedih dan putus asa, harus tetap semangat dan kuat," katanya.

Psikolog mengatakan meski tidak mudah tapi orang tua harus berupaya menciptakan kondisi yang nyaman bagi anak. “Hal terpenting dalam kegiatan pembelajaran di rumah adalah menciptakan suasana yang nyaman agar anak-anak tidak jenuh dan dapat tetap semangat dalam melakukan kegiatan belajar,” ujar Saskhya Aulia Prima, Psikolog, Rumah Konsultasi Tiga Generasi dalam siaran resmi, Kamis (23/7).

Dia mengatakan komunikasi yang lancar antara sekolah dan orang tua menjadi kunci sukses belajar di rumah. Komunikasi bisa mengenai materi pembelajaran dan tantangan yang mungkin dihadapi orang tua saat di rumah.

Saskhya juga memberikan kiat agar orang tua menerapkan rutinitas meskipun di rumah saja. Rutinitas yang dapat dilakukan secara terus-menerus, mampu memberikan perasaan yang aman, tenang, dan nyaman di tengah kondisi yang sedang tidak menentu ini. Orang tua juga berperan penting dalam menumbuhkan minat dan bakat anak.

“Orang tua perlu ingat, bahwa kita bukan menghadapi anak kecil, tapi orang dewasa yang masih kecil, sehingga kita perlu mempersiapkan rumah sebagai wadah yang mampu membantu mereka menghadapi tantangan di masa depan.”

Kondisi belajar dari rumah tidak cuma berdampak ke anak di Indonesia. UNICEF memprediksi, sedikitnya 40 juta anak usia dini di seluruh dunia kehilangan pendidikan akibat pandemi Covid-19. Lembaga PBB penyedia dana untuk kesejahteraan anak itu, melaporkan analisisnya dalam sebuah riset.

Kantor penelitian UNICEF, Innocenti, menggagas studi yang meninjau kondisi pengasuhan dan pendidikan anak usia dini secara global. Cakupan analisisnya termasuk dampak terhadap sejumlah layanan penting seperti tempat pengasuhan anak.

"Gangguan pendidikan yang disebabkan pandemi Covid-19 mencegah anak-anak mendapatkan pendidikan terbaik," kata Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore, lewat pernyataan resminya, dikutip dari laman Unicef.

Fore menyampaikan, kondisi demikian merupakan ancaman serius. Pasalnya, pendidikan anak usia dini merupakan fondasi penting untuk aspek perkembangan anak. Akibat pandemi, orang tua juga berjuang menyeimbangkan antara bekerja dan mengasuh anak.

Menurut studi UNICEF, perempuan cenderung mendapat beban tidak proporsional. Rata-rata perempuan, menghabiskan waktu tiga kali lebih lama melakukan pengasuhan anak sekaligus melakoni pekerjaan rumah dibandingkan laki-laki.

Pandemi juga memicu krisis lebih dalam bagi keluarga di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Banyak di antara mereka tidak dapat mengakses layanan perlindungan sosial dan fasilitas pengasuhan anak atau lembaga prasekolah.

Padahal, fasilitas itu sangat penting dalam memberikan anak-anak kasih sayang, perlindungan, stimulasi, dan nutrisi. Pada saat yang sama, layanan memungkinkan anak mengembangkan keterampilan sosial, emosional, dan kognitif.

Sebelum adanya pandemi, fasilitas pendidikan anak usia dini yang tidak terjangkau atau berkualitas memaksa banyak orang tua meninggalkan anak-anak di lingkungan yang tidak aman. Kondisi itu membuat mereka tidak terstimulasi dengan optimal.

Secara global, studi mencatat lebih dari 35 juta anak di bawah usia lima tahun dibiarkan tanpa pengawasan orang dewasa. Banyak anak kecil yang tetap di rumah tersebut tidak mendapatkan dukungan pembelajaran awal yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang.

Berdasarkan data terbaru, sekitar 40 persen anak berusia 3-5 tahun tidak menerima stimulasi sosial-emosional dan kognitif dari orang dewasa dalam keluarga. Hasil analisis itu didapat dari keluarga di 54 negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Dari peninjauan di total 166 negara, hanya kurang dari setengahnya yang menyediakan program pra-sekolah dasar gratis, setidaknya selama satu tahun. Saat ini, jumlah itu turun menjadi hanya 15 persen di antara negara-negara berpenghasilan rendah.

Kurangnya pilihan tempat pendidikan usia dini juga membuat banyak orang tua tidak punya pilihan. Para ibu yang bekerja di sektor informal cenderung membawa anak-anak mereka ke tempat kerja agar tetap bisa mengawasi buah hati.

Sembilan dari 10 perempuan di Afrika, serta tujuh dari 10 perempuan di Asia dan Pasifik bekerja di sektor informal dan tidak memiliki akses ke fasilitas perlindungan sosial. Itu juga berkontribusi pada siklus kemiskinan antargenerasi.

UNICEF menyerukan pemerintah menyediakan fasilitas pengasuhan dan pendidikan anak usia dini yang mudah diakses, terjangkau, dan berkualitas. Secara ideal, rentang usianya dimulai dari lahir hingga usia masuk ke sekolah dasar.

"Pandemi Covid-19 membuat krisis pengasuhan anak global semakin buruk. Keluarga membutuhkan dukungan dari pemerintah dan para pemilik usaha menghadapi badai ini, melindungi pembelajaran dan perkembangan anak-anak mereka," ujar Fore.

photo
Risiko kematian anak saat pandemi Covid-19 - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement