Kamis 23 Jul 2020 04:29 WIB
Corona

Masjid Kebal Corona? Pemisahan Ruang Sekuler dan Agama

Pemisahan ruang sekuler dan agama akibat corona.

Wisatawan mengunjungi Masjid Menara Kudus di Kudus, Jawa Tengah. Obyek wisata religi favorit warga kawasan Pantura untuk berziarah makam Sunan Kudus yang berada di sebelah barat masjid itu mulai ramai dikunjungi wisatawan dan pedagang dengan menerapkan protokol kesehatan guna meminimalisir penyebaran COVID-19.
Foto: ANTARA /YUSUF NUGROHO
Wisatawan mengunjungi Masjid Menara Kudus di Kudus, Jawa Tengah. Obyek wisata religi favorit warga kawasan Pantura untuk berziarah makam Sunan Kudus yang berada di sebelah barat masjid itu mulai ramai dikunjungi wisatawan dan pedagang dengan menerapkan protokol kesehatan guna meminimalisir penyebaran COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID,  DR Sunarwoto, Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Senin lalu (22/7), saya ke sebuah toko buku Islam yang terletak di Sukoharjo. Boleh dibilang, ini toko buku terbesar di kawasan Soloraya. Memasuki kawasan toko, pengunjung bisa melihat setidaknya dua spanduk berisi protokol kesehatan terpampang di halaman depan dan dalam.

Sebelum memasuki pintu toko, pengunjung bertemu tempat cuci tangan dan hand sanitizer. Di dalam toko, semua karyawan mengenakan masker. Juga para pengunjung umumnya memakai masker dengan tertib.

Tampak disiplin protokol kesehatan dijalankan dengan baik. Saya sendiri merasa nyaman jika ke toko ini. Semasa pandemik ini, saya sudah lebih dari tiga kali berkunjung dan membeli buku di toko mewah ini.

Toko ini memiliki masjid mewah di lantai 3. Saya baru sekali salat di masjid ini. Ya itu dua hari lalu. Bekerja di toko buku Islam, semua karyawan di sini memang (harus) shalat jamaah di masjid ini. Saya melihat hal yang menarik. Hampir semua jamaah tidak menerapkan protokol kesehatan. Mereka lepas masker dan tidak mengambil jarak. Bahkan waktu shalat, semua merapatkan kaki satu sama lain. Hanya beberapa gelintir, tiga orang yang saya lihat (empat termasuk saya) memakai masker saat shalat.

Tentu saya tidak tahu mengapa mereka tidak menerapkan protokol kesehatan saat di masjid karena memang saya tidak bertanya. Namun, ada pertanyaan mendasar setidaknya pada diri saya: apakah ini bentuk keyakinan kuat bahwa di dalam masjid semua kalis penyakit menular seperti Covid-19? Mungkin. Semoga demikian, yang artinya saya termasuk selamat meski ikut jamaah di masjid ini.

Apakah ini juga bentuk pemisahan ruang sekuler (toko tempat aktivitas ekonomi, kapitalisme) dan ruang religius (religious space)? Jika demikian, apakah ini bentuk sekularisasi religius?

Dalam hal ini, sekularisasi religius yang saya maksud adalah pemisahan ruang sekuler dan agama dan ruang agama dalam balutan aktivitas duniawi yang lahir dari pemahaman keagamaan tertentu. Ada pemahaman dan keyakinan yang kuat di masyarakat Muslim bahwa tempat ibadah adalah tempat yang aman dari bahaya. Oleh karena itu, wajar bila mereka berduyun-duyun ke masjid sebagai tempat berlindung dari bahaya.

Ini pula yang saya saksikan (dan alami), misalnya, ketika gempa mengguncang Yogyakarta pada 2006. Banyak orang, termasuk saya, berlarian ke arah masjid UIN Sunan Kalijaga sesaat setelah beredar kabar akan terjadi tsunami. Mereka yakin akan aman jika berlindung di masjid.

Pemisahan ruang sekuler dan ruang religius tersebut tampak jelas dalam ambiguitas sikap sebagian (besar) umat Islam terhadap penanganan Covid-19. Di satu sisi, mereka paham perlunya protokol kesehatan dan karenanya mereka menerapkannya dengan baik di ruang publik sekuler.

Namun, di sisi lain, mereka paham bahwa protokol kesehatan yang sekular (dari pemerintah) itu bukan satu-satunya solusi, dan karenanya mereka lebih memilih masjid sebagai tempat yang diyakini aman!

Inilah yang dikatakan Peter Berger bahwa agama, bagi pengikutnya, berfungsi sebagai sacred canopy (payung suci) yang melindungi mereka dari kekacauan (chaos) tatanan dunia. Di masjid mereka merasa aman, termasuk dari virus mematikan.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement