Rabu 22 Jul 2020 04:05 WIB

Satu Suara Lawan Covid-19

Masyarakat harus terlibat secara pribadi dalam perang melawan Covid-19

Reiny Dwinanda
Foto: istimewa/doc pribadi
Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*

Pekan lalu begitu kelabu. Betapa tidak, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia sudah menyalip China, negara pertama yang terusik virus corona tipe baru, yakni SARS-CoV-2.

Sejalan dengan itu, kasus di DKI Jakarta juga membuat Ibu Kota urung masuk ke fase II masa transisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Lonjakan kasus juga membuat Samarinda, Kalimantan Timur kembali menerapkan sistem kerja dari rumah  bagi ASN mulai Jumat (17/7).

Di Jawa Timur, situasinya lebih mengenaskan. Lebih dari 120 dokter terpapar Covid-19 dan 20 dokter kehilangan nyawa karenanya. Sementara itu, per 17 Juli, 334 perawat di Jatim terkonfirmasi positif Covid-19, 13 di antaranya wafat.

Di Pariaman, Sumatra Barat, awal pekan ini (20/7), sekolah di zona hijau itu kembali ditutup setelah seorang guru dan operatornya terkonfirmasi positif Covid-19. Alhasil, sekolah yang menyelenggarakan tatap muka itu harus ditutup dan ratusan siswa serta staf menjalani tes swab.

Di Sulawesi, beban dokter dua kali lipat beratnya. Di tengah penambahan kasus positif Covid-19, sejak bulan lalu dokter juga dilanda isu manipulasi diagnosis.

Santer terdengar, warga setempat menjemput paksa keluarganya yang diisolasi di rumah sakit. Mereka tak percaya, keluarganya betul-betul terinfeksi virus corona, apalagi jika tak ada manifestasi gejala khas Covid-19.

Padahal, orang yang tampaknya sehat bisa jadi positif Covid-19 atau hanya mengembangkan gejala yang sangat ringan. Kasus orang tanpa gejala bahkan jumlahnya mendominasi hingga 80 persen pada 8 Juni lalu secara nasional.

Di Jakarta, pada akhir pekan lalu (19/7), Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi DKI Jakarta menemukan 55 persen dari pasien terkonfirmasi positif yang ditemukan adalah orang tanpa gejala. Bayangkan risiko penularannya jika tak ada langkah pencegahan penyebaran virus corona. Orang berpotensi menularkannya hanya lewat droplet (percikan liur) yang dikeluarkannya saat bernapas, bicara, batuk, dan bersin. Memutuskan rantai penularan di tengah masyarakat ini penting.

Di tengah banyaknya kasus orang tanpa gejala, lambatnya keluar hasil pemeriksaan turut andil dalam menciptakan konflik.

Berlama-lama dalam ketidakjelasan diagnosis bisa membuat orang yang kurang pemahamannya berontak. Mereka ada juga yang menuding, dokter dan rumah sakit memetik keuntungan dari diagnosos Covid-19.

Belum lagi kasus ambil paksa jenazah yang pemulasaraannya memakai protokol Covid-19. Kasus yang satu ini juga terjadi di Pasuruan, Jawa Timur pada pekan lalu.

Deretan kasus itu mencerminkan beratnya penanganan pagebluk di Indonesia. Penyebaran dan penularan virus corona belum terkendali dengan baik akibat beragam aspek, mulai dari kurangnya pemahaman masyarakat, keterbatasan laboratorium pemeriksaan, hingga kesigapan pemerintah.

Seraya melakukan perbaikan kebijakan dan fasilitas di sana-sini, edukasi terhadap masyarakat harus lebih gencar dan mengena. Seluruh elemen masyarakat harus dilibatkan agar kita semua memiliki pemahaman yang sama terhadap Covid-19.

Apalagi, setiap hari ada saja hoaks yang beredar soal Covid-19. Herannya, pemerintah terkadang "genit" juga, mempromosikan atau mengeklaim sesuatu manjur untuk menangkal Covid-19 tanpa basis riset yang kuat. Kalung eucalyptus buatan Kementan pun menjadi olok-olok di masyarakat. Salah satu meme paling banyak dibagikan membandingkan kalung minyak angin--yang salah satu bahan pembuatnya adalah eucalyptus, dengan sabun batangan. Meme itu menunjukkan sabun lebih ampuh membunuh kuman hingga 99 persen.

Selain membongkar hoaks, pemerintah juga harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkembang di masyarakat agar semua mengerti pembatasan sosial berskala besar yang diterapkan manfaatnya lebih besar daripada mudaratnya.

Sebut saja soal mengapa sekolah belum juga boleh buka ketika pasar bisa tetap buka, stasiun ramai, dan tempat wisata alam sudah kembali menerima pengunjung. Pembelajaran jarak jauh memang menciptakan tantangan besar bagi orang tua di tengah keterbatasan kemampuan mendampingi dan menyediakan fasilitas. Itu membuat mereka gusar, terlebih yang masih harus membayar uang sekolah tanpa keringanan.

Kalau alasan di balik kebijakan itu tak gencar disosialisasikan, konflik horisontal bisa  terjadi. Orang tua yang paham sulitnya menekan risiko penyebaran virus corona di sekolah akan bentrok dengan yang menuntut sekolah tatap muka.

Kita memang harus terlibat secara pribadi dalam perang melawan pandemi Covid-19 yang entah sampai kapan akan berakhir ini. Tiap orang perlu menjaga dirinya agar tak terinfeksi, demi dirinya sendiri, orang terdekatnya, dan orang lain yang berinteraksi dengannya.

Tugas berat, memang. Tetapi, suka tidak suka, kita memang harus menjadikan langkah pencegahan itu sebagai bagian dari gaya hidup. Memakai masker, menjaga jarak, dan menjaga kebersihan tangan adalah ikhtiar terbaik saat ini.

Salah seorang kawan dokter di Solo, Jawa Tengah pernah bilang, "Mending gerah, daripada ketularan. Gerahan sesak napas gara-gara Covid-19." Kata-kata seperti ini penting digaungkan agar orang tak abai dalam memakai masker atau asal pasang saja.

Di lain sisi, pemerintah harus harmonis secara internal. Seluruh kebijakan yang diumumkan tak boleh bertentangan satu sama lain. Contohnya, soal pembukaan bioskop. Ketika Kemenparkeraf sesumbar bioskop dapat buka pada 29 Juni, Gugus Tugas Covid menggugurkan ide itu karena melihat potensi risiko penyebaran virus di ruang tertutup.

Satu suara. Itu penting untuk menghindari orang berpikir Covid-19 dipolitisir di berbagai sisi.

*penulis adalah wartawan republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement