Selasa 21 Jul 2020 17:03 WIB

Untuk Siapa Harta Suami?

Harta suami bukan untuk dirinya sendiri karena ia berkewajiban menafkahi keluarganya.

Rep: Syahruddin El Fikri/ Red: Muhammad Hafil
Untuk Siapa Harta Suami?. Foto: Ilustrasi Nafkah Istri
Foto: Foto : MgRol_92
Untuk Siapa Harta Suami?. Foto: Ilustrasi Nafkah Istri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laki-laki adalah pemimpin karena punya kelebihan dibandingkan perempuan. Ia bertanggung jawab memberikan nafkah bagi keluarganya. Dan seorang suami adalah pemimpin, penasihat, pelindung, sekaligus pengayom keluarganya. Ia bertanggung jawab atas keamanan, keimanan, akhlak, dan kesejahteraan anak serta istrinya.

Ketika ia melalaikan hal itu, akan menimbulkan permasalahan dalam keluarga. Selain keimanan dan akhlak, hal yang perlu diperhatikan adalah kesejahteraan rumah tangga. Saat suami meninggalkan rumah untuk bekerja, dia harus memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Tak dibenarkan keluarganya ditinggalkan dalam keadaan kekurangan.

Baca Juga

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (QS An-Nisa [4]: 9).

Ayat di atas menegaskan larangan bagi setiap orang tua meninggalkan anak-anak mereka dalam keadaan miskin, kekurangan, bodoh, lapar, dan sebagainya. Bahkan, seharusnya seorang ayah (suami), menjadikan anak, istri, dan keluarganya sebagai penyejuk hati.

"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Furqan [25]:74). Inilah salah satu tugas seorang ayah, suami, dan laki-laki untuk menjadikan anak dan istrinya sebagai qurrata a'yun (penyejuk hati).

Selain itu, seorang ayah, suami, dan laki-laki berkewajiban menjaga keluarganya dari siksa api neraka (QS At-Tahrim [66]: 6). Meninggalkan keluarga baik anak, istri, dan orang tua dalam keadaan kekurangan, kelaparan, miskin, dan bodoh sangat besar dosanya di sisi Allah.

Oleh karena itu, kewajiban seorang laki-laki sekaligus sebagai suami dari istri dan ayah dari anak-anaknya untuk senantiasa membahagiakan mereka. Sering muncul pertanyaan, ketika seorang laki-laki sudah berumah tangga, untuk siapakah sesungguhnya harta yang diperolehnya?

Apakah hanya untuk dirinya sendiri atau keluarganya, seperti orang tua, saudara-saudaranya, anak serta istrinya? Pertanyaan ini terlontar akibat kurangnya perhatian seorang laki-laki saat mereka sudah berumah tangga. Bahkan, sering kali karena persoalan ini sebuah rumah tangga menjadi berantakan.

Ada yang mengatakan, harta yang diperoleh seorang suami untuk dirinya sendiri. Ada pula yang menjelaskan, harta itu untuk keluarganya juga termasuk anak dan istrinya.  Bagaimanakah sesungguhnya pandangan Islam tentang hal ini?

Dalam Alquran surah An-Nisa [4]: 34 dijelaskan, "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."

Ayat di atas secara tegas menyatakan, seorang laki-laki adalah pemimpin karena punya kemampuan lebih, terutama dalam menafkahkan harta miliknya kepada perempuan. Ini menjelaskan, harta seorang laki-laki bisa dipergunakan untuk keluarganya. Untuk anak istrinya, keluarganya (ayah dan ibu), maupun berbagi dengan saudaranya.

Artinya, harta si laki-laki tersebut bukan untuk kepentingan dirinya pribadi sebab dia punya kewajiban menafkahi anak-istrinya. Ia diperbolehkan bersedekah atau memberikan sebagian harta yang diperolehnya kepada orang tua atau saudaranya. Dan seorang istri,  berhak meminta jaminan keamanan dan kesejahteraan dari suaminya.

Apalagi, jika suaminya-karena suatu tugas-bermaksud bepergian jauh dan meninggalkan anak istrinya dalam waktu yang lama. Suami berkewajiban memenuhi permintaan istrinya itu sepanjang kemampuan yang ia miliki.

Waris

"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." (QS An-Nisa [4]: 11). Dalam hukum waris Islam, bagian anak laki-laki tampak lebih banyak (2:1) daripada anak perempuan.

Sesungguhnya, secara nilai bisa saja jumlah yang diperoleh laki-laki lebih sedikit atau bahkan sama dengan bagian yang didapatkan perempuan. Ini disebabkan oleh tugas seorang laki-laki adalah sebagai pemimpin dan ia harus memberikan nafkah bagi keluarganya.

Seandainya, seorang laki-laki mendapatkan bagian waris dengan jumlah Rp 100 juta, sementara dua orang saudarinya memperoleh masing-masing Rp 50 juta, nilai nominal Rp 100 juta itu, bisa saja akan lebih kecil. Sebab, ia punya tanggung jawab menafkahi istrinya, anak-anaknya, maupun saudara kandungnya.

Dan bisa jadi pula, bagian anak perempuan yang nilainya lebih kecil dari bagian laki-laki, akan menjadi lebih banyak. Sebab, harta waris maupun upah yang didapatkan dari usahanya sendiri adalah miliknya pribadi. Karena dirinya tak punya kewajiban menafkahi anaknya maupun saudara atau lainnya. Oleh karena itu, jelaslah bahwa seorang laki-laki harus memiliki kesadaran tinggi dalam memberikan nafkah bagi anak-istrinya, keluarganya, atau kedua orang tuanya. Wallahu A'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement