Selasa 21 Jul 2020 10:14 WIB

Pahala Mengingat Mati

Muslim cerdas yang paling banyak mengingat mati dan mempersiapkan bekal untuk mati.

Warga melakukan ziarah kubur di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta, Senin (25/5/2020).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Warga melakukan ziarah kubur di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta, Senin (25/5/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

Ibnu Umar bercerita, “Aku pernah bersama Rasulullah SAW, lalu seorang Anshar mendatangi beliau seraya  ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yang paling baik akhlaknya”.   “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia  bertanya lagi.

Rasululllah  SAW menjawab, “Yang paling banyak mengingat mati dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk hidup berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas." (HR. Ibnu Majah ). Dikatakan cerdas, karena ia tidak hanya berfikir untuk kehidupan kini di sini, tapi juga mempersiapkan kehidupan setelah mati.

Tapi mengingat mati itu tidak mudah. Dengan berbagai cara setan memperdaya manusia. Setan ingin manusia melupakan kematian dan menikmati sepuas-puasnya kehidupan dunia. Seperti terlena dalam lezatnya makanan. Bermegah-megahan dalam berpakaian. Termasuk merasa bangga memiliki rumah megah di cluster mewah.

Terkait hal ini, Syaikh Nawawi Banten dalam Nashaihul Ibad menulis ulang tentang Hatim al-Asham. Hatim memberikan tiga jawaban akurat ketika setan bertanya kepadanya tentang apa yang dia makan, apa yang dia pakai, dan di mana dia tinggal.  Hatim al-Asham menjawab, “Aku memakan kematian.”   Artinya Hatim menyadari kematian itu begitu pahit.

Hatim melanjutkan, “Aku berpakaikan kafan dan aku bertempat tinggal di kuburan”. Mendengar ketiga jawaban Hatim al-Asham tersebut, setan lari tunggang-langgang karena tidak bisa mempengaruhi  Hatim dari melupakan kematian. Cerita ini menginspirasi kita agar sungguh-sungguh mengingat mati yang pasti terjadi. 

Oleh karena itu, Nabi SAW berseru, “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan (yaitu mati) karena jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya sempit, maka ia akan merasa lapang dan jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya lapang, maka ia tidak akan tertipu oleh dunia (sehingga lalai akan akhirat).” (HR. Ibnu Hibban).

Hadits ini kalau dikaitkan dengan tiga pertanyaan setan dan tiga jawaban  Hatim al-Asham dapat menjadi formula mengingat mati, yakni di kala lapang dan sempit. Pertama, apabila di kala lapang (sehat) maupun sempit (sakit) kita mengingat mati, maka kita tidak lagi akan terpesona oleh lezatnya makanan, melainkan sekadarnya saja.

Kedua, apabila di kala lapang (kaya) maupun sempit (miskin) kita mengingat mati, maka kita tidak lagi akan bernafsu bermegah-megahan dengan pakaian mahal dan baru, kecuali sekadar untuk menutup aurat. Aristoteles, seorang filosof Yunani, pernah bergumam, “Betapa banyaknya dari dunia ini yang sebenarnya aku tidak butuhkan”.

Ketiga, apabila di kala lapang (muda) maupun sempit (tua) kita mengingat mati, maka kita tidak lagi berburu rumah megah. Namun yang kita fikirkan adalah bagaimana agar kuburan kita terang, lapang, dan terhindar dari siksa kubur. Keadaan di alam kubur tergantung perbuatan saat di dunia dan menjadi pertanda ikhwal kehidupan di akhirat.

Terakhir, Nabi SAW memberi informasi cara jitu mengingat mati. Beliau bersabda,  “Ingatlah kematian di dalam shalatmu. Sebab jika seseorang mengingat mati dalam shalatnya, maka ia akan memperbagus shalatnya.” (HR. Dailami). Ayo kita kian   khudhu’ (tertib) dan kian khusyu’ (konsentrasi) dalam shalat untuk mengingat  mati.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement