Selasa 21 Jul 2020 09:46 WIB

Parlemen Mesir Setuju Kirim Pasukan ke Libya

Mesir mengingatkan Sirte adalah garis merah yang tak boleh dilewati.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
Militer Mesir (ilustrasi).
Foto: AP Photo
Militer Mesir (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Parlemen Mesir telah mengumumkan menyetujui permintaan Presiden Abdel-Fattah al-Sisi untuk mengirim pasukan ke Libya, Senin (20/7). Momen ini seperti kilas balik peristiwa saat parlemen Turki memberikan restu untuk Presiden Tayyip Erdogan menyatakan akan mengirim pasukan ke Libya pada awal tahun ini.

Sisi mengatakan pada pertengahan Juni, Mesir selalu enggan untuk campur tangan di Libya dan menginginkan solusi politik untuk konfliknya. Namun, dia menilai, situasi saat ini telah berbeda. "Jika beberapa orang berpikir bahwa mereka dapat melintasi garis depan Sirte-Jufra, ini adalah garis merah bagi kita," ujarnya ketika mempertimbangkan pengajuan tersebut kepada parlemen.

Baca Juga

Sedangkan, pada akhir tahun lalu, Erdogan mendapatkan permintaan langsung dari Tripoli untuk membantu Government of National Accord (GNA) melawan pasukan Libyan National Army (LNA) Khalifa Haftar yang berbasis di timur. Perjanjian antara dua pihak ini melibatkan kerja sama keamanan dan militer dan mengenai batas-batas laut di Mediterania timur.

Setelah pengumuman itu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memperingatkan Erdogan terhadap gangguan apa pun di Libya melalui panggilan telepon. Langkah serupa juga dilakukan Trump kepada Sisi, sebelum Parlemen Mesir memutuskan mendukung keinginan presidennya.

Keputusan Erdogan mengirim pasukan ke Libya karena kondisi GNA yang semakin terdesak, terlebih lagi setelah tentara bayaran Rusia yang dilaporkan dari kelompok Wagner pada bulan September ikut terjun. "Tidak tepat bagi kita untuk tetap diam terhadap semua ini," kata Erdogan merujuk pada kehadiran pejuang Rusia akhir tahun lalu.

Sebelum menurunkan pasukan dan armada langsung, Turki hanya terbatas pada penjualan peralatan militer ke negara tersebut. Namun, setelah persetujuan, Turki mengirim bala bantuan meliputi sistem pertahanan udara dan pesawat nirawak baru, serta penasihat militer. Berkat dukungan Turki pasukan GNA kini sudah mendekati Sirte yang menjadi basis terakhir Haftar.

Sementara itu, militer Mesir mengatakan telah melakukan latihan-latihan yang melibatkan angkatan laut, angkatan udara, dan pasukan khusus di dekat perbatasan sebagai tanggapan atas perubahan besar dan cepat di kawasan itu.

Persiapan ini dilakukan untuk membantu tentara bayaran Rusia dari Kelompok Wagner hingga 1.200 orang dan Suriah yang pro-Haftar dengan dukungan logistik UEA sebanyak 900 orang.

Dalam hal armada, Erdogan merilis pesawat nirawak bersenjata buatan Turki, yaitu Bayraktar TB2 untuk membantu GNA. Menurut laporan Amerika Serikat, pasukan LNA pun mendapatkan dukungan pesawat tempur MiG 29 dan SU-24 dari Moskow pada Mei. Hal ini penambahan kekuatan dari armada UEA yang memasok pesawat nirawak Wing Loong buatan Cina yang telah memberi keunggulan di udara selama beberapa waktu.

Pertempuran udara di Libya juga menjadi sorotan karena penggunaan banyak pesawat udara nirawak (UAV) atau drone. Perwakilan Khusus PBB untuk Libya Ghassan Salame menyebut konflik itu perang drone terbesar di dunia, karena hampir 1.000 serangan udara dilakukan oleh UAV.

Pesawat nirawak Turki lebih kecil dan dengan jangkauan yang jauh lebih pendek daripada Wing Loong. Ditambah lagi pasukan GNA mendapatkan, Rudal Hawk, yang menjaga pertahan dari serangan udara.

Sejak pemimpin lama Libya, Muammar Gaddafi, digulingkan pada 2011, negara ini belum memiliki pemerintahan yang stabil. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Bentrokan antara GNA dan LNA sejak April 2019 telah menyebabkan lebih dari 1.000 orang tewas dan sekitar 5.500 lainnya terluka.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement