Selasa 21 Jul 2020 00:00 WIB

Anjuran Puasa Tarwiyah di Bulan Dzulhijjah

Rasulullah biasa berpuasa Sembilan hari di bulan Dzulhijjah.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Fakhruddin
Anjuran Puasa Tarwiyah di Bulan Dzulhijjah (ilustrasi)
Foto: Republika
Anjuran Puasa Tarwiyah di Bulan Dzulhijjah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Hari tarwiyah adalah tanggal 8 Dzulhijjah. Hari pertama bulan Dzulhijjah bertepatan dengan hari Selasa 22 Juli 2019. Ustaz Hanif Luthfi, Lc., MA dalam bukunya "Amalan Ibadah Bulan Dzulhijjah" menjelaskan istilah tarwiyah berasal dari kata tarawwa (bahasa arab) yang artinya membawa bekal air. 

"Hal itu karena pada hari itu, para jamaah haji membawa banyak bekal air zam-zam untuk persiapan arafah dan menuju Mina. Mereka minum, memberi minum ontanya, dan membawanya dalam wadah," katanya.

Imam an-Nawawi menjelaskan alasan penamaan ini: "Di amakan demikian, karena para jamaah haji, mereka membawa bekal air pada hari itu, yang mereka siapkan untuk hari arafah. Ada juga yang mengatakan, di namakan hari tarwiyah, karena Nabi Ibrahim ’alaihis salam pada malam 8 Dzulhijjah, beliau bermimpi menyembelih anaknya. 

Di pagi harinya, beliau yarwi (berbicara) dengan dirinya, apakah ini mimpi kosong ataukah wahyu Allah? Sehingga hari itu dinamakan hari tarwiyah.Terdapat hadis yang secara khusus menganjurkan puasa di hari tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah).

 

Hadis itu menyatakan "Siapa yang puasa 10 hari, maka untuk setiap harinya seperti puasa sebulan. Dan untuk puasa pada hari tarwiyah seperti puasa setahun, sedangkan untuk puasa hari arafah, seperti puasa dua tahun.”

Hadis ini berasal dari jalur Ali al-Muhairi dari at-Thibbi, dari Abu Sholeh, dari Ibnu Abbas r.a, secara marfu’. Para ulama menegaskan bahwa hadis ini adalah hadis palsu. Ibnul Jauzi (wafat 597 H) mengatakan, "Hadis ini tidak shahih. Sulaiman at-Taimi mengatakan, ’at-Thibbi seorang pendusta.’ Ibnu Hibban menilai, ’at-Thibbi jelas-jelas pendusta. Sangat jelas sehingga tidak perlu dijelaskan.’ (al-Maudhu’at, 2/198).

Keterangan serupa juga disampaikan as-Syaukani (wafat 1255 H). Ketika menjelaskan status hadis ini, beliau mengatakan. "Hadis ini disebutkan oleh Ibn Adi dari A’isyah secara marfu’. Hadis ini tidak shahih, dalam sanadnya terdapat perawi bernama al-Kalbi, seorang pendusta. (al-Fawaid al-Majmu’ah, 1/45). Keterangan di atas, cukup bagi kita untuk menyimpulkan bahwa hadis di atas adalah hadis yang tidak bisa jadi dalil. Karena itu, tidak ada keutamaan khusus untuk puasa tarwiyah.

Lantas, bolehkah kita berpuasa tarwiyah? Keterangan di atas tidaklah melarang anda untuk berpuasa di hari tarwiyah. Keterangan di atas hanyalah memberi kesimpulan bahwa tidak ada keutamaan khusus untuk puasa tarwiyah.

Kita tetap dianjurkan untuk memperbayak puasa selama tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah. Tentu saja, hari tarwiyah masuk di dalam rentang itu.

Sebagaimana hadits di atas tentang kesunnahan puasa 9 hari bulan Dzulhijjah:

Dari Hunaidah ibn Khalid, dari istrinya, dari istri-istri Nabi SAW ,mereka berkata, “Rasulullah biasa berpuasa Sembilan hari di bulan Dzulhijjah, berpuasa di hari Asyura, berpuasa tiga hari di setiap bulannya, puasa senin pertama dan juga hari kamis di setiap bulannya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, dan Nasa’i. Ahmad dan Nasa’i menambahkan, “dan dua kamis. (HR. Abu Dawud).

Dalam kitab an-Najm al-Wahhaj itu disebutkan, "Dan disunnahkan untuk berpuasa pada hari tarwiyah beserta hari Arafah sebagai tindakan  hati-hati.

Maka, ketika hadits dianggap dhaif dari segi sanadnya, bukan berarti lantas semua isinya ditinggalkan begitu saja. Hadits tentang puasa tarwiyah itu yang dianggap dhaif adalah fadhilah atau keutamaan puasanya. Adapun masyru'iyyah atau pensyariatan kesunnahannya bukan karena hadits dhaif tadi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement