Senin 20 Jul 2020 19:11 WIB

Pemerintah Evaluasi Penyebab Banjir Bandang di Luwu Utara

BNPB menduga ada beberapa penyebab seperti curah hujan, peralihan lahan dan lainnya.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Andi Nur Aminah
Anggota Kepolisian mencari korban dengan menggunakan anjing pelacak di Desa Bone Lama, Masamba, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Foto: ANTARA/Yusran Uccang
Anggota Kepolisian mencari korban dengan menggunakan anjing pelacak di Desa Bone Lama, Masamba, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menduga penyebab banjir bandang di Luwu Utara, Sulawesi Selatan (Sulsel) karena beberapa sebab. Antara lain curah hujan tinggi, peralihan lahan, sejarah patahan yang mengakibatkan kondisi formasi di kawasan hulu lemah hingga tata ruang daerah tersebut. Kendati demikian ini baru asumsi dan perlu dievaluasi lebih lanjut.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati mengungkap ada beberapa dugaan penyebab bencana tersebut. "Asumsi pertama curah hujan yang tinggi, kemungkinan kedua peralihan lahan karena ada penambagan, kemudian sejarah patahan yang mengakibatkan kondisi formasi di kawasan hulu lemah," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (20/7).

Baca Juga

Kemudian, dia menambahkan, persoalan tata ruang juga menjadi dugaan pihaknya. Artinya ia menyebutkan kalau melihat daerah aliran sungai (DAS) yang menimbulkan banjir bandang maka perlu dinilai bagaimana kawasan di sekitar sungai itu. Misalnya permukiman, penggunaan lahan untuk persawahan, aktivitas masyarakat, sekolah, hingga infrastrukturnya.

"Tetapi lagi-lagi itu semua asumsi atau analisis yang perlu diselidikilagi dengan hati-hati. Evaluasi ini kan bukan berarti buruk, jadi jangan buru-buru menyimpulkan," katanya.

 

Apalagi, pihaknya mendapatkan data satelit bahwa sudah ada daerah bencana yang mulai tertutup oleh vegetasi. Artinya, dia mengakui kondisi di daerah tersebut dinamis. Kini, ia menyebutkan jajaran pemerintah pusat telah melakukan review mendalam mengenai hal ini. 

Ia menyontohkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah menggambarkan cuaca dan iklim di daerah itu. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) juga diakuinya telah memberikan penilaian. Kemudian, ia menyebutkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) juga telah membahas tata ruang di daerah bencana. Selain itu, ia menyebutkan pihak pemerintah daerah setempat juga ikut menilai tata ruang di daerahnya. Terkait target kapan kajian ini rampung, pihaknya tidak bisa memastikan waktu pasti. "Karena banyak yang harus dinilai, dikaji. Yang jelas bupati ingin segera selesai," katanya.

Sementara itu, ia mengutip data terbaru hingga Ahad (19/7) pukul 23.00, jumlah korban meninggal dunia bertambah dan kini menjadi 38 jiwa. Kemudian, dia melanjutkan, korban luka-luka menjadi 97 orang, hilang 11 orang, sehingga total korban terdampak berjumlah 3.627 kepala keluarga (KK) atau 14.483

"Kemudian tempat pengungsian masih sama yaitu 76 titik  yang tersebar di tiga kecamatan, antara lain Kecamatan Sabbang, Kecamatan Baebunta, dan Kecamatan Masamba," katanya.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement