Senin 20 Jul 2020 11:55 WIB

Djoko Tjandra, Si Joker yang Berkali-kali Permalukan Negara

Ada bantuan oknum Polri untuk Djoko Tjandra.

Djoko S Tjandra
Foto: Antara
Djoko S Tjandra

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*

Joker. Begitu nama Djoko Tjandra disebut dalam percakapan antara Kemas Yahya Rahman dengan Artalyta Suryani. Kemas Yahya Rahman adalah mantan jaksa agung muda pidana khusus, sedangkan Artalyta Suryani atau Ayin adalah terpidana kasus suap ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan senilai 660.000 dolar AS.

Nama Djoko Tjandra kembali muncul dalam pemberitaan setelah ia berhasil mengajukan peninjauan kembali (PK) atas kasus pengalihan hak tagih Bank Bali yang menjeratnya selama 21 tahun. Saya sebut sebagai 'berhasil' karena Djoko Tjandra berstatus buronan dan bukan lagi warga negara Indonesia (WNI).

Bagaimana mungkin dia bisa mendaftar PK yang membutuhkan identitas dirinya sebagai WNI, yakni KTP-el? Jika dia punya KTP-el, lalu bagaimana mungkin dia bisa masuk ke Indonesia?

Pertanyaan ini sudah terjawab seiring perkembangan kasus ini selama beberapa pekan terakhir. Jika saya coba jelaskan kronologinya, Djoko Tjandra berhasil masuk karena NCB Interpol Indonesia pada Mei 2020 berkirim surat ke Dirjen Imigrasi Kemenkumham bahwa nama Djoko Tjandra telah dihapus dari red notice Interpol sejak 2014.

Polri sudah menyatakan terhapusnya red notice atas nama buronan Djoko Tjandra di sistem basis data Interpol pada 2014 karena batas waktunya sudah habis dan tidak ada permintaan perpanjangan. Berdasarkan peraturan Interpol, masa berlaku red notice adalah lima tahun.

Bantuan oknum Polri lainnya, yakni surat jalan sehingga Djoko Tjandra bebas bergerak selama masa pandemi Covid-19. Brigjen Prasetyo Utomo sebagai kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) Bareskrim Polri mengeluarkan surat jalan bagi Djoko Tjandra.

Setelah berada di Indonesia, Djoko Tjandra bisa dengan bebas membuat KTP elektronik di Kelurahan Grogol Selatan. Selanjutnya, ia mendaftarkan pengajuan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Rangkaian Djoko Tjandra berjalan bebas di Indonesia ini mengingatkan saya pada 11 tahun lalu ketika masih meliput di desk hukum. Kala itu, majelis hakim PK Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan jaksa dan membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama yang melepaskan Djoko Tjandra. Djoko Tjandra divonis dua tahun penjara dalam kasus tersebut.

Butuh waktu sepuluh tahun hingga akhirnya ada putusan yang bisa menjerat Djoko Tjandra. Sebagai informasi, Kejaksaan Agung mulai mengusut perkara pidana Djoko Tjandra pada 27 September 1999.

Namun, Kejaksaan Agung ternyata tidak bisa mengeksekusi Djoko Tjandra. Sebab, Djoko Tjandra telah kabur ke Port Moresby, Papua Nugini, satu hari sebelum majelis hakim memutusnya bersalah dalam perkara itu.

Kabar yang menyeruak kala itu, pendapat para hakim yang kemudian berbuah menjadi putusan itu bocor ke Djoko Tjandra. Sebagai ilustrasi, pada masa lalu, mengetahui putusan di MA adalah perkara yang tidak mudah.

Belum ada transparansi melalui website yang membuat kita bisa mengecek perkembangan perkara. Saya ingat wartawan yang ngepos di bidang hukum seputaran Monas kadang main ke MA hanya untuk 'mencuri dengar' apakah sebuah perkara sudah diputuskan. Atau, posisi kasus itu sudah ada di pemeriksaan hakim yang keberapa sehingga bisa diprediksi kapan majelis melakukan RPH dan bisa mengambil putusan.

Namun, harus pula diakui tidak ada bukti bahwa putusan memang bocor sehingga Djoko Tjandra bisa kabur ke Papua Nugini dan negara melalui instrumen penegak hukumnya tidak bisa mengeksekusi putusan tersebut hingga sekarang.

Rangkaian cerita sepanjang 11 tahun (saya tidak tahu cerita sepuluh tahun sebelumnya karena belum jadi wartawan) terkait Djoko Tjandra atau Joker ini pun membuat saya berpendapat bahwa Negara sebenarnya sudah dipermalukan. Saya menggunakan istilah malu merujuk pada pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, yang menyebut negara akan malu jika dipermainkan oleh Djoko Tjandra.

"Karena bagaimana pun malu negara ini kalau dipermainkan oleh Joko Tjandra. Kepolisian kita yang hebat masak ndak bisa nangkap, kejagung yang hebat seperti itu masak ndak bisa nangkap," ujar Mahfud usai menggelar pertemuan bersama pihak terkait di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (8/7) malam.

Djoko Tjandra memastikan ia bisa bebas bergerak di Indonesia meski berstatus buronan. Djoko Tjandra menggunakan orang-orang yang seharusnya menjadi instrumen negara menegakkan aturan dan hukum.

Di sisi lain, saya juga terheran dengan upaya perlawanan Djoko Tjandra yang tidak berhenti. Setelah putusan MA pada 2009, ia mengajukan upaya hukum PK pada 2012 untuk melawan putusan MA atas PK jaksa, tetapi gagal.

Beberapa bulan setelah kegagalan PK itu, Djoko Tjandra menjadi warga negara Papua Nugini. Namun, upaya ternyata tidak berhenti.

Istrinya, Anna Boentaran, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran jaksa mengajukan PK pada perkara yang menjerat suaminya. Pada 2016, MK menyatakan jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Putusan MK memberi terang bagi Djoko Tjandra untuk mengajukan PK kedua kalinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement