Senin 20 Jul 2020 07:30 WIB

Pulang (Cerpen)

Bodoh kalian kalau punya kesempatan merawat orang tuamu tapi kau tolak.

Pulang (Cerpen)
Foto:

Harjono tak hadir sewaktu Tri berpisah melanjutkan sekolah SMA ke Yogya. Katanya dia tak kuat berpamitan. Tri hanya tertawa.

Jam belum menunjukkan pukul 09.00, tetapi matahari telah bersinar sedemikian garang. Panasnya terasa sampai di dinding kamar kos Tri. Dia nyalakan pendingin ruangan dan bersiap-siap mandi. Dia nyalakan laptop, menyambar handuk, dan menuju kamar mandi.

Itu cara umum mahasiswa karena menyalakan komputer hingga ready internet paling tidak 5-10 menit. Keluar kamar mandi dia sudah langsung online. Selesai mandi dia sudah duduk di depan laptop, Whatsapp, Facebook, Twitter, Instagram berturut turut opening. Dia berselancar sejenak, lihat-lihat grup.

Nurman muncul WApri. "Bro apa kabar, siap-siap minggu depan aku jemput, kita ke Bengkulu. Siapin baju untuk satu pekan."

It's all about time.... Tri menggumam.

Notifikasi Youtube muncul, ceramah salah satu ustaz dari Sulawesi. Ceramahnya lugas, lantang, dan tak ragu menggunakan kata-kata keras khas Sulawesi.

"... biar kalian berilmu tinggi, biar kalian punya mobil berderet-deret, tapi kalau kau tak memuliakan orang tuamu jangan harap surga terbuka untukmu. Bodoh kalian kalau punya kesempatan merawat orang tuamu tapi kau tolak, Dongok kalian. Bodoh kalian. Itu kunci syurga, itu cara masuk surga paling mudah. Kau rawat orang tuamu, Allah yang urus duniamu." Luar biasa Pak Ustaz kasih wejangan, benar-benar khas orang Bugis, menohok, menghantam relung-relung halus dalam hati.

Tri terpaku terus menonton ceramah ustaz itu. Tangannya tak mampu mengeklik tombol setop. Dirinya terus mengikuti ceramah itu hingga selesai. Perlahan ujung- ujung matanya berair, terbayang olehnya bapak dan ibunya yang mulai menua dan makin melemah tubuhnya.

Tri membiarkan sebuah proses mengisi hati dan pikirannya dengan hal-hal yang selama ini dia sangkal dan sekarang dia biarkan pemahaman-pemahaman baru itu meresap ke dalam hati dan pikirannya.

"Apa yang kau cari di Jakarta? Apa yang kau cari di dunia ini? Apa yang kau harapkan dari kepintaranmu? Apakah kau gunakan untuk memenuhi kepuasanmu atau kau gunakan untuk membimbing mereka yang memerlukan pencerahan ilmu pengetahuan?" Jiwanya berkecamuk, hatinya gundah, dan pikirannya tak menentu. Tri merasa badannya lemas, lelah, dan dia tertidur.

Suara azan lewat pengeras suara bergema mendengung di telinga Tri. Dia terbangun dan tersentak. Refleks dia lihat jam di atas meja, dua belas kurang sepuluh, waktunya Zhuhur. Dia sigap bangun dan duduk di tempat tidur, pikirannya sudah agak tenang.

Apa yang menjadi kegundahannya perlahan telah mulai mengendap, mengendap, dan mengkristal. Sekarang dia mempunyai dua pilihan yang sama-sama kuat. Pulang dan meneruskan usaha tani keluar ga nya atau berangkat ke Jakarta dan men jadi manajer perusahaan sawit. Pilihan yang satu adalah tentang kesederhanaan dan pilihan yang satunya lagi tentang gemerlap metropolitan yang memukau.

Dia beranjak dan segera ambil air wudhu, shalat Zhuhur. Selesai shalat pikirannya masih bimbang, tetapi dia lanjutkan berzikir, ala bidzikrillahi tatmainnul qulb.Dia membutuhkan ketenangan. Sudah jelas pulang ke desanya adalah pilihan terbaik yang harus diambilnya. Tapi, satu sisi pikirannya tetap ingin bekerja di Jakarta dengan segala gemerlapnya metropolitan yang memukau.

Dan telepon berdering lagi, di seberang sana suara ayahnya.

"Nak, pulanglah segera, tadi pagi ibumu dilarikan ke puskesmas, tekanan darahnya naik. Ibumu sempoyongan dan hampir jatuh, tapi sekarang sudah baikan. Pulanglah, tengoklah ibumu."

Tri kaget, terkesiap, tetapi dia segera menemukan jawaban.

"Baik Pak, aku segera pulang, naik kereta sore ini, aku segera cari tiket. Doakan aku dapat tiket."

Tri sudah tidak konsentrasi lagi pada apa yang diucapkan ayahnya. Segera dia berganti pakaian menyambar kunci motor dan siap melaju memesan tiket.

Allah sudah kasih peringatan padaku, jangan sampai aku kehilangan kesempatan memiliki kunci surga. Akan kupergunakan selama mungkin kesempatan ini. Begitu pikirnya.

Sepeda motor menderu, angin bersibak menerpa wajahnya dan perlahan-lahan menghapus obsesi menikmati kecantikan dan godaan metropolitan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement