Sabtu 18 Jul 2020 12:30 WIB

Jimly: BPIP Cukup Diatur Lewat Pepres bukan UU

Jimly menilai pemerintah tak perlu mengusulkan RUU BPIP apabila hanya mengatur badan

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqie
Foto: Republika/Mimi Kartika
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, meminta Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai alternatif RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang menimbulkan polemik dicabut dari daftar program legislatif nasional prioritas (prolegnas) prioritas 2020. Menurut dia, pengaturan Badan PIP cukup melalui peraturan presiden (perpres), bukan undang-undang.

"Kalau BPIP mengenai badan itu kan LPNK (Lembaga Pemerintah Nonkementerian), lembaga di luar kementerian itu cukup dengan perpres," ujar Jimly dalam diskusi virtual, Sabtu (18/7).

Sehingga, kata Jimly, pemerintah tak perlu mengusulkan RUU BPIP apabila hanya mengatur badan. Ia mengaku pernah mengusulkan Badan PIP menjadi Dewan PIP yang dapat menguatkan pembinaan ideologi pancasila, dan tak perlu diatur dalam UU.

Dengan demikian, ia mendorong, RUU BPIP maupun RUU HIP dicabut dalam prolegnas prioritas 2020. Jimly mengatakan, apabila pemerintah ingin mengatur sosialisasi Pancasila, seharusnya judul yang tepat yakni RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP).

Dalam RUU PIP bisa mengatur pula keberadaan lembaga BPIP. Namun, ketika pemerintah ingin mengutamakan pembinaan ideologi Pancasila, maka RUU tersebut harus diubah dan diperbaiki, dan tidak hanya sebatas penggantian judul.

Menurut Jimly, yang terjadi saat ini, pemerintah meredam konflik dengan mengganti judul RUU, bukan berhenti membahas RUU yang menimbulkan polemik tersebut. Sehingga pembahasan rancangan tersebut masih bergulir di DPR.

Ia menyarankan pemerintah mengajukan RUU tentang PIP, bukan BPIP, untuk prolegnas 2021 mendatang. Ia meminta keputusan politik dari elite, dalam hal ini eksekutif dan legislatif, untuk mencabut RUU HIP maupun RUU BPIP dari prolegnas 2020.

"Sekarang ini tidak jelas, judul yang diajukan sudah berubah, tapi RUU yang sudah diputuskan masih namanya HIP, berarti tidak ada penundaan, ada pembahasan berubah dalam pembahasan, seolah-olah begitu," tutur Jimly.

Ia juga mengkritisi cara berkomunikasi pemerintah menenangkan publik yang mempersoalkan RUU HIP dengan mengirim lima menteri menyerahkan RUU BPIP ke DPR RI. Menurut dia, hal itu belum pernah terjadi, dan seolah-olah menggambarkan pemerintah tidak mau kalah.

"Saran saya bagaimana kita merajut ulang konflik di tengah masyarakat kita ini jangan dibiarkan. Untuk itu yang harus melawan permusuhan harus ditunnukkan dari atas. Jangan dilawan dengan sikap permusuhan," kata Jimly.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement