Jumat 17 Jul 2020 22:35 WIB

Kata UAS tentang Wacana Penghapusan Peradilan Agama

UAS mengaku ditanya tentang wacana penghapusan peradilan agama.

Ustadz Abdul Somad menyampaikan tausiyahnya saat Kuliah Dhuha di Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta. beberapa waktu lalu
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Ustadz Abdul Somad menyampaikan tausiyahnya saat Kuliah Dhuha di Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta. beberapa waktu lalu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di Indonesia, peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam diistilahkan sebagai peradilan agama. Secara hukum, keberadaannya diakui melalui Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Ustaz Abdul Somad (UAS) mengaku, belakangan ini dirinya sempat dimintakan pendapat tentang adanya wacana untuk menggugat eksistensi peradilan agama. Terkait itu, UAS menerangkan, adanya peradilan agama memiliki sejarah yang bahkan jauh lebih tua daripada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Baca Juga

"Ini sejarah panjang di Indonesia," kata alumnus Universitas al-Azhar (Mesir) itu kepada Republika, hari ini.

Tonggaknya dimulai setidaknya sejak 1267. Waktu itu, kerajaan Islam pertama di Nusantara berdiri, yakni Samudra Pasai. Rajanya bergelar Malikusaleh, wafat pada 1297. Tentunya, raja tersebut telah menerapkan hukum Islam dalam pemerintahannya.

Samudra Pasai terletak di Aceh. UAS meneruskan, pada 1345 seorang pengelana, Ibnu Battutah (1304-1369), sempat singgah ke Aceh selama 15 hari. Dalam suatu kesempatan, pengelana asal Maroko itu bertemu dengan al-Malik az-Zahir, yakni putra Malikusaleh.

"Ibnu Battutah banyak bercerita tentang Aceh dan penerapan hukum Islam di Aceh," ujar UAS.

Pada abad ke-15, Walisongo berhasil mempengaruhi raja-raja Jawa untuk memeluk Islam. Sejak saat itu, hukum Islam pun diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa yang berada di bawah kedaulatan sultan Muslim.

UAS mencontohkan, Sultan Agung (1613-1645) saat berkuasa mengadakan mekanisme yang dinamakan pengadilan serambi. "Dinamakan begitu karena hakim memutuskan perkara di serambi masjid. Semua hukum berdasarkan hukum Islam," kata dia.

Kedaulatan Islam di Nusantara melemah sejak bangsa-bangsa Eropa datang menjajah kepulauan ini. Belanda menjadi yang paling berkuasa di antara mereka, setidaknya sejak abad ke-19.

Pada 1848, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan kitab undang-undang hukum perdata (KUHPerdata), KUHPidana, dan KUHDagang. Menurut UAS, itulah awal proses kebiri terhadap hukum Islam di Nusantara.

"Belanda melarang hukum Islam diterapkan dalam masalah keduniawian. Karena mereka sekuler. Agama hanya mengatur hubungan personal dengan tuhan," jelas alumnus Darul Hadis (Maroko) itu.

Setelah berjuang sekian lama, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Dalam pada itu, lanjut UAS, sultan-sultan Melayu dan kerajaan-kerajaan yang menerapkan hukum Islam pun bergabung ke Republik Indonesia. Pancasila menjadi pegangan bersama.

"Mereka berharap, hukum Islam tetap diterapkan dengan payung sila pertama, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya," ucap UAS.

 

Disrupsi sempat muncul hanya sehari setelah Indonesia diproklamasikan. Pada 18 Agustus 1945, seorang opsir Jepang menjumpai Mohammad Hatta. Kepada Bung Hatta, sang perwira Angkatan Laut Jepang (Kaigun) itu—yang Hatta sendiri lupa namanya—mendapatkan informasi bahwa pencantuman kata-kata 'dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' menyebabkan orang-orang Indonesia yang beragama Kristen (Protestan dan Katolik) di daerah Kaigun di Indonesia timur merasa terdiskriminasi dalam negara baru, Republik Indonesia.

Kalau tujuh kata-kata itu tetap tercantum dalam Undang-Undang Dasar, lanjut si perwira asing itu, kalangan Nasrani lebih suka berdiri di luar RI.

"Umat Islam legowo, demi persatuan (tujuh kata pun dihilangkan --Red). Resmi-lah Pancasila edisi terakhir, yakni sila pertamanya berbunyi, 'Ketuhanan Yang Maha Esa," papar UAS.

Dasar gugatan

UAS menegaskan, cakupan peradilan agama saat ini tak meliputi seluruh hukum Islam (syariat). "Tujuh kata" dalam sila pertama Pancasila telah dimodifikasi. Sebagai bentuk sikap legowo, kaum Muslimin pun 'mengikhlaskan' bila peradilan itu semata-mata mengurus nikah, talak cerai, rujuk, nafkah dan warisan.

"Kalau itu mau digugat juga, apa sebenarnya yang ada di kepala mereka yang menggugat itu? Butakah mereka terhadap kelapangan hati umat Islam? Satu-satunya hukum Islam yang kuat, legitimate, diakui Konstitusi negara hanya tinggal ini saja, tapi sekarang semua mau digugat," tutur UAS.

Ia pun mempertanyakan apa agenda 'tersembunyi' di balik gugatan tersebut. UAS berharap, para pemangku kepentingan memiliki sikap sadar sejarah. Peradilan agama di Tanah Air tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan telah melalui proses yang panjang, bahkan sebelum Indonesia merdeka.

"Umat Islam mesti mengerti dan sadar. Sadar hukum, sadar sejarah," kata dia menutup pembicaraan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement