Jumat 17 Jul 2020 15:32 WIB

RUU PKS dalam Pertimbangan Fikih

Repetisi dan tumpang tindih undang-undang adalah kemubaziran.

Para aktivis yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Peduli Perempuan melakukan aksi menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di Car Free Day (CFD) Dago, Kota Bandung, beberapa waktu lalu.
Foto: Republika/Edi Yusuf
Para aktivis yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Peduli Perempuan melakukan aksi menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di Car Free Day (CFD) Dago, Kota Bandung, beberapa waktu lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asnawi Ridwan, Pengasuh Pondok Pesantren Fashihuddin Sawangan, Depok

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada awal Juli 2020 ini diputuskan DPR telah dikeluarkan dari prolegnas prioritas. Artinya, RUU PKS tidak dibahas lagi pada tahun ini.

Sebagian kalangan yang mendukung RUU PKS bereaksi dengan menyuarakan berbagai kritik dan kekecewaannya melalui media sosial, diskusi webinar, atau menulis opini di media massa. Agar masyarakat mendapatkan opini banding, tidak hanya mendapatkan suara dari kalangan yang mendukung RUU PKS, saya sebagai insan pesantren, ingin urun rembuk mencoba melihatnya dari sudut pandang fikih.

Memang bagus jika berniat untuk melakukan perlindungan terhadap kaum lemah, yakni perempuan dan anak. Islam agama yang melarang membahayan diri sendiri dan membahayakan orang lain, tanpa kecuali.

Akan tetapi, jika perlindungan itu dilakukan secara berlebihan dan membabi buta, maka alih-alih ingin adanya kebaikan, malahan justru sebaliknya terwujudnya marabahaya yang lebih besar. Seperti ingin menggenggam pasir, jika digenggam dengan sangat keras maka justru pasir itu akan berjatuhan dari sela-sela lubang yang ada di antara jari satu dengan jari lain. Tujuan adalah penting. Namun tidak kalah pentingnya lagi adalah cara meraih tujuan itu sendiri.

Ingin hati ingin melindung anak, tetapi dalam beberapa pasal tertentu, seperti pasal 118 ayat 1, yang isinya menghilangkan hak wali yang dilindungi oleh agama Islam untuk bisa menjodohkan putrinya dengan lelaki yang baik dan maslahat, dan menghadap-hadapkan anak dengan orang tua secara hukum legal formal. Sebab, di dalam pasal ini, dikatakan pemaksaan perkawinan terhadap anak, orang tua dipidana penjara 4 tahun dan paling lama 13 tahun.  

Tidak semua perjodohan negatif, dan juga tidak semuanya positif. Spirit perjodohan, yang disebut dalam fikih dengan wali mujbir, adalah spirit memberi perlindungan kepada putrinya agar bisa mendapatkan suami yang terbaik. Faktanya, tidak semua anak perempuan bisa mencari dan menentukan jodoh yang terbaik dirinya.

Jika tidak ada ketidaksinkronan atau dirasa kurang maslahat, langkah mediasi lebih diprioritaskan. Tidak menutup kesempatan sang putri memilih lelaki pilihan, jika memang maslahat dan lebih baik berdasarkan pertimbangan dirinya dengan meminta pertimbangan orang tuanya. 

Islam memberikan solusi musyawarah dalam berbagai urusan (QS Asy-Syura: 38 dan QS Ali Imran: 159), tak terkecuali dengan persoalan rumah tangga dan privasi anak dan orang tua atau suami dan istri. Mediasi sebagai wujud musyawarah inilah yang dianjurkan Islam.

RUU PKS memilih solusi yang keras tanpa kompromi, yakni menarik persoalan privat dan keluarga ke dalam ranah pindana dan penjara. Mengakibatkan tradisi ketimuran yang penuh keharmonisan dan kekeluargaan akan tergulung oleh aksi lapor-melapor dan tuntut-menuntut di meja hijau. Hubungan anak dan orang tua ataupun istri dan suami menjadi kaku, berpotensi keretakan rumah tangga yang akut dan tegang. 

Selain itu, pada pasal 11 ayat 3, kekerasan seksual terkait dengan hubungan seksual antarsuami istri. Dan pada RUU PKS Bab I Ketentuan Umum, yang intinya kekerasan seksual karena relasi kuasa dan/atau relasi gender. Pada pasal ini menyiratkan bahwa suami bisa dianggap melakukan kekerasan seksual dan bisa dipidanakan oleh istrinya akibat memaksa untuk melakukan hubungan seksual.

Sementara di dalam fikih dikatakan bahwa suami haram menggauli istri yang sedang mengalami uzur syar’i, yaitu haid (menstruasi), nifas, dan sakit. Sedangkan di luar itu, yakni istri tidak dalam keadaan uzur syar’i, maka wajib menerima ajakan suami dalam berhubungan seks. Bahkan, hubungan seks suami istri termasuk nafkah batin.

Suami wajib memberikan nafkah lahir, yakni sandang, pangan, dan papan. Sedangkan istri wajib menerima ajakan suami dalam memenuhi nafkah batin. Suami, dalam keadaan mood atau tidak mood, wajib memberikan nafkah. Sehingga, tidak adil jika istri menolak ajakan suami dengan alasan tidak mood. Lebih ekstrem lagi, mempidanakan suaminya yang meminta nafkah batin dan menuduhnya sebagai tindakan pemerkosaan, hanya karena suami mengajak istri yang sedang tidak mood.

Mungkin bisa dipahami, pasal ini bertujuan untuk melindungi perempuan/istri dari suami yang meminta nafkah batin secara paksa. Tapi tanpa memikirkan kondisi suami jika hasratnya tidak tersalurkan. Tentu saja ada efek negatif jika hasrat suami tak tersalurkan. Di antaranya bisa stres, bisa terkena penyakit prostat jika sering nahan hasrat yang tak tersalurkan, atau takut berzina, khauf al-zina, dengan perempuan lain sebagai pelampiasan hasratnya. Sehingga mestinya harus bijak, dengan melindungi kedua pihak, perempuan/istri dan lelaki/suami, bukan hanya melindungi salah satu pihak saja.

Islam sendiri menganjurkan sebelum melakukan hubungan seks, suami dan istri terlebih dahulu melakukan muqaddimah jima’ dengan merayu dan bercumbu agar timbul rangsangan, tidak main paksa dan to the point. Apalagi jika suami istri sudah terikat tali kasih dalam komitmen rumah tangga. 

Sedangkan, jika ada efek negatif yang berkaitan dengan kekerasan seksual yang berakibat pada kerusakan atau cacat fisik, kan sudah ada dalam UU KDRT, dan tak perlu lagi UU lain. Repetisi dan tumpang tindih undang-undang adalah kemubaziran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement