Jumat 17 Jul 2020 12:56 WIB

Gelar Bergengsi Haji, Nikmat, dan Ujian

Dibolehkan untuk menyebut orang sebagai haji setelah dia selesai tahallul.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Fakhruddin
Gelar Bergengsi Haji, Nikmat, dan Ujian (ilustrasi tahallul)
Foto: Amr Nabil/AP
Gelar Bergengsi Haji, Nikmat, dan Ujian (ilustrasi tahallul)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ibadah haji merupakan ibadah paling bergengsi dari sekian banyak ibadah dalam Islam. Karena ibadah haji selain mendapat gelar, juga praktiknya dikerjakan di luar negeri yang menuntut pelakunya memiliki kemampuan baik secara fisik maupun finansial.

"Haji adalah satu-satunya ibadah yang ada gelarnya. Orang yang berhaji di Indonesia biasa disebut pak haji atau bu hajah," kata Ustaz Hanif Luthfi Lc,MA dalam bukunya "Amalan Ibadah Bulan Dzulhijjah".

Ibadah lain tidak diberi gelar, kecuali haji itupun memang hanya di Indonesia. Misalnya oang yang berangkat umrah tidak disebut pak umrah, pak zakat pak sholat.

Tentunya, bisa berangkat haji merupakan sebuah nikmat tersendiri bisa dan haji yang mabrur tak ada balasan kecuali hanya surga. Memiliki gelar haji bisa menjadi nikmat, tapi juga ujian tersendiri. 

"Nikmat karena setiap hari akan selalu diingatkan untuk menjadi orang yang lebih baik lagi, selalu mengamalkan kebaikan," katanya.

Hanya kadang menjadi ujian kepada seseorang, apakah hajinya ikhlas untuk Allah SWT atau agar disebut pak haji, bu hajah. Banyak yang menyangka bahwa gelar haji hanya di Indonesia saja. 

Bahkan kata Ustaz Hanif, ada juga yang membuat teori bahwa gelar haji itu diciptakan oleh Belanda di masa penjajahan untuk mengidentifikasi dengan mudah mereka yang pernah ke Makkah. "Ya, itu teori itu bisa benar," katanya.

Akan tetapi kata dia, kalau kita lihat dalam kitabnya Imam an-Nawawi misalnya, beliau pernah menyebutkan dalam al-Majmu’ tentang kebolehan seseorang dipanggil haji setelah menunaikan ibadah haji. "Padahal beliau adalah ulama yang hidup pada abad ke-7 hijriah," katanya.

Ustaz Hanif mengatakan, kalau sekarang kita berada di abad 15, maka minimal sudah ada sekitar 8 abad usia penyebutan haji. Ini kalau kita asumsikan bahwa penyebutan tersebut baru muncul di zaman Imam an-Nawawi itu. 

"Kalau penyebutan haji di zaman imam An-Nawawi itu ternyata sudah lama, maka tentu usianya jadi lebih lama. Lebih dari delapan abad," katanya.

Terlepas sejak kapan penyebutan atau gelar haji itu muncul, kata Ustaz Hanif para ulama memang berbeda pendapat tentang kebolehannya. Dan di antara yang membolehkannya adalah Imam An-Nawawi rahimahullah.

Beliau mengatakan, "Dibolehkan untuk menyebut orang yang sudah menunaikan ibadah haji sebagai haji setelah dia selesai tahallul walaupun setelah bertahun-tahun kemudian, dan juga setelah wafatnya. Sama sekali tidak ada kemakruhan sama sekali dalam hal demikian”.

Sedangkan mereka yang melarang beralasan bahwa tradisi penyebutan gelar semacam ini sama sekali tidak pernah dikenal di masa nabi. Selain itu tujuan ibadah adalah pahala dari Allah SWT bukan gelar-gelar itu. Apalagi jika hal tersebut benar-benar memalingkan dari keikhlasan beribadah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement