DPR RI Pertanyakan Kinerja Tiga Kementerian

Ada sejumlah temuan BPK yang erplu disoroti karena menyangkut kinerja lembaga

Kamis , 16 Jul 2020, 18:34 WIB
Anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024, Ahmad Syaikhu  menyatakan kesiapan untuk mengundurkan diri jika dirinya ditunjuk sebagai  Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta.
Foto: Republika/Muhammad Riza Wahyu Pratama
Anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024, Ahmad Syaikhu menyatakan kesiapan untuk mengundurkan diri jika dirinya ditunjuk sebagai Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Anggota DPR RI Ahmad Syaikhu mempertanyakan kinerja tiga kementerian. Pasalnya, banyak temuan yang didapat oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berpotensi merugikan negara. 

Tiga kementerian tersebut yakni, Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Syaikhu menyampaikan itu dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi V tentang Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Semester (Hapsem) I dan II Tahun 2019 BPK RI.

Di awal, Politisi PKS itu mengapresiasi perolehan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh ketiga Kementerian tersebut."Saya mengapresiasi raihan WTP dari BPK. Pada kementerian perhubungan dan Kementerian Desa PDTT opininya sudah ajeg dalam beberapa tahun. Mudah-mudahan kementerian PUPR ke depan bisa terus mempertahankan opini WTP. Terimakasih atas perjuangannya," kata Syaikhu di Gedung Parlemen, Senayan. Jakarta, Rabu, (15/7).

Tapi menurut Syaikhu, ada beberapa temuan BPK yang perlu disoroti, karena menyangkut kinerja lembaga. Kepada Kementerian PUPR, Syaikhu menyoroti revaluasi aset di atas Rp 5 Miliar, sehingga terjadi kenaikan aset di Kementerian PUPR dari Rp 915 Triliun menjadi Rp 1.896 T. Dengan kenaikan tersebut ada pajak yang harus dibayarkan oleh kementerian PUPR sebesar Rp 98,1 Triliun. "Kenaikan aset setelah revaluasi ini sangat signifikan. Harusnya ada pajak yang dibayarkan Kementerian PUPR," kata Syaikhu.

Kepada Kemendes dan PDTT, Syaikhu berharap lembaga tersebut memperkuat sistem pengendalian intern untuk dapat menjamin keandalan proses administrasi. Dia juga mempertanyakan kendala-kendala yang dihadapi oleh kementerian dalam menyelesaikan temuan. Sebab, temuan yang dapat dituntaskan baru 42,22  persen. Demikian pula dengan temuan tahun 2015 yang masih outstanding."Ini rendah sekali. Masih dibawah 50 persen tindak lanjut temuan BPK. Apa masalah dan kendalanya. Coba terbuka kepada kami," kata Syaikhu.

Kepada Kementerian Perhubungan, Syaikhu mempertanyakan temuan strategis BPK, terkait dengan Penerimaan Negera Bukan Pajak (PNBP) atas kewajiban penerbitan SRUT pada APM 23 merek tahun 2017 sebanyak 5.987.772 unit kendaraan bermotor. Nilainya sebesar Rp 683.751.900.000. Per Juni 2020 jumlah rekapitulasi piutang yang telah terbayar baru 149.187.950.000 atau sebesar 21,82 persen. "Piutang yang terbayar sangat rendah. Padahal di saat pemerintah butuh dana, pemasukan PNBP ini harus digenjot seoptimal mungkin," ujar Syaikhu.

Syaikhu juga menyoroti trend kenaikan jumlah temuan maupun nilainya dari semester I ke Semester II. Jumlah rekomendasi ada 1026, naik menjadi 1.049. Nilai rekomendasi juga naik dari Rp 2,31 Triliun menjadi Rp 2,99 Triliun. Artinya, ada akumulasi temuan yang belum ditindaklanjuti. "Jika kondisi seperti ini terus menerus maka bisa dipastikan akumulasi temuan akan semakin besar. Ini tidak boleh dibiarkan," tegas Syaikhu.

Secara umum, hasil pemeriksaan BPK menunjukkan adanya lima penyebab terjadinya temuan, yaitu ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, ketidakhematan, ketidakefisienan, ketidakefektifan, dan kelemahan sistem pengendalian intern. "Temuan-temuan ini berpotensi untuk terjadinya kerugian negara. Harus secepatnya ditindaklnjuti,” kata Syaikhu.