Rabu 15 Jul 2020 15:55 WIB

Pemerintah Sampaikan Sikap Resmi Soal RUU HIP ke DPR Besok

Setelah surat diserahkan, kelanjutan RUU HIP itu berada di tangan DPR.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD.
Foto: republika/Putra M. Akbar
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah akan mengirim pernyataan sikap terkait Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) secara resmi ke DPR besok. Setelah penyampaian sikap resmi sudah dilakukan, pemerintah menyerahkan kelanjutan RUU tersebut ke DPR.

"Pemerintah besok akan menyampaikannya secara resmi, secara fisik dalam bentuk Surat Menteri yang akan menyampaikan ke situ mewakili Presiden Indonesia," ungkap Mahfud dalam konferensi pers yang dilaksanakan di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (15/7).

Baca Juga

Setelah surat resmi itu diserahkan, Mahfud mengatakan, kelanjutan RUU HIP itu berada di tangan DPR. Menurutnya, sikap pemerintah sudah jelas, yakni meminta DPR untuk mendengar aspirasi masyarakat dalam prosedur pembahasannya dan menolak beberapa hal yang menyangkut substasi dalam RUU HIP.

"Bahwa TAP MPRS itu (TAP MPRS Nomor 25 Tahun 66) final dan Pancasila yang sah, resmi, itu adalah Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 yang bunyinya tidak bisa dikurangi dan tidak bisa ditambah," jelas dia.

Dia menjelaskan, sebelum penyampaian surat resmi, pemerintah sudah menyampaikan sikap secara politis dengan mengumumkannya ke publik terlebih dahulu pada 16 Juni 2020. Pada kesempatan itu, Mahfud mewakili pemerintah meminta DPR untuk menunda membicarakan RUU HIP.

"Karena dua alasan. Satu, pemerintah ingin lebih fokus ke penanganan Covid. Kedua, materinya masih menjadi pertentangan dan perlu lebih banyak menyerap aspirasi. Sehingga DPR diminta untuk banyak lagi mendengar pendapat masyarakat," katanya.

Terkait substansi, ada dua sikap dasar pemerintah. Pertama, jika ingin berbicara penyebarluasan Pancasila maka ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 harus menjadi dasar pertimbangan utama sesudah Undang-Undang Dasar (UUD). 

Tanpa itu, kata dia, pemerintah ada pada posisi tidak setuju untuk membicarakannya. "TAP MPRS nomor 25 tahun 66, yaitu tentang pembubaran PKI dan larangan penyebaran ajaran komunisme, marxisme, leninisme kecuali untuk keperluan studi akademik, bukan untuk penyebaran," tutur dia.

Hal kedua yang menyangkut substansi RUU HIP, pemerintah menilai Pancasila yang resmi dan dipakai itu hanya satu, yakni Pancasila yang ada pada UUD 1945. Pancasila pada UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 yang terdiri dari lima sila dan merupakan satu kesatuan makna.

"Dimaknai dalam satu tarikan napas, tidak bisa dipisah, tidak bisa dikurangi, tidak bisa diperas. Pokoknya itu Pancasila, bukan tri atau eka. Itu posisi pemerintah," ungkap dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement