Rabu 15 Jul 2020 15:03 WIB
Gus Dur

Kisah Gus Dur Menyelamatkan Khutbah Jumat Terpenggal

Kisah Gus Dur menyelamtkan khutbah terpenggal

Presiden Abduurahman Wahid (Gus Dur) semasa muda tengah mengetik artikel.
Foto: Google.com
Presiden Abduurahman Wahid (Gus Dur) semasa muda tengah mengetik artikel.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fachry Ali, Pengamat Sosial-Keagamaan

Pulang Jumatan 10 Juli 2020, saya terduduk di tempat biasa di rumah. Meja di hadapan saya bertabur koran-loran langganan. Dan di senderan tangan kursi sebelah kiri, bertumpuk buku-buku yabg harus dibaca. Salah satunya adalah ‘Capital and Ideology’ karya Thomas Pikety terbaru.

Saya ingat, buku Pikety sebelumnya, dengan tema yg hampir sama, saya beli di airport Hong Kong tahun lalu. Juga, di meja yg sama, ada buku ‘Heresy and Politics’, karya scholar muda Najib Burhani —baru sampai kemarin sore.

Terutama karena covid-19, saya kian yakin guna sembahyang Jumat di jalanan aspal —spt telah bertahun-tahun saya lakukan. Terik matahari telah mencegah efektivitas kinerja kuman covid. Saya jadi ingat frasa yang diungkap Sofyan Djalil (kini menteri Agraria): ‘The sun is the best disinfactan’. Jadi Jumatan di bawah terik matahari jadi relevan.

Tapi, entah mengapa, ingatan saya kembali melayang kepada acara Jumatan di LP3ES sejak awal 1980-an. Sejak Mas Endang Basri Ananda (EBA) bergabung di LP3ES, ‘the intellectual center of excellence’ ini menyelenggarakan Jumatan tersendiri.

Selain Mas EBA, ada anak-anak muda lain yg menjadi khatib Jumat. Ismed Natsir, Ison Basyuni, Arif Mudatsir, Said Budairi, dan lainnya. Dan dengan ‘persyaratan amat ketat’, Mas Dawam Rahardjo mau juga menjadi khatib. ‘Ketat’, karena Mas Dawam, ‘grogi’. Untuk menenangkan dirinya, ia melarang kami bicara-bicara sebelum khutbah. "Merusak konsentrasi saya,’ kata Mas Dawam. Dan yang biasa masih bicara adalah, antara lain, Tafta Zani dan E Shabirin Nadj.

Nah, entah mengapa, suatu Jumat, Mas EBA meminta saya menjadi khatib. Saya bersedia karena naskah tertib khutbah biasanya diletakkan di podium. Dalam hati, saya berkata, ‘Apa susahnya? Baca teks pembukaan dan pertengahan yang tersedia. Lalu isi khutbah bisa dikarang sendiri secara lisan.’

Maka, ketika sampai waktunya, seperti halnya mau membawa makalah, dengam tenang saya melangkah ke mimbar. Dari situ, saya melihat jamaah Jumat memandang saya dengan serius. Dan, seperti biasa, saya tenang.

Tetapi, ketika saya lihat ke laci mimbar, hati saya berdesir: ‘Gawat!!!!’ Teks tertib khutbah tidak ada. Dalam hati, saya berkata: ‘Ada yang kerjain nih.’

Maka, denan sebisa-bisanya, saya memulai khutbah dengan membaca do’a iftitah yang bisa saya ingat. Untuk sementara aman. Soalnya adalah memulai khutbah kedua.

Saya duduk. Mungkin lima menit. Berusaha keras mengingatingat apa bacaan pembukaan khutbah kedua. Karena kian gugup, ingatan tak bisa bekerja. Para jamaah gelisah. Dan Sasmito, salah seorang peneliti lulusan FE UGM berucap keras: ‘Lama amat!’

Daripada-daripada, akhirnya saya berdiri. Jamaah tampaknya menyangka saya akan melanjutkan khutbah kedua. Tapi, yang saya lakukan adalah mengatakan kepada mereka: ‘Maaf, karena teks tertib khutbah ada yg ambil, saya tak bisa melanjutkan tugas sebagai khatib.’ Lalu, saya bergabung dengangjamaah.

Dalam krisis inilah Kiai Abdurrahmah Wahid bangkit. Duduk sebelumnya sebagai jamaah, Kiai Wahid terpanggil menyelamatkan upacara Jumat pada hari itu. Dengan enteng, dan tanpa menyebut insiden gagal khutbah sebelumnya, Kiai Abdurrahman Wahid menyelesaikan tugas yang saya terbengkalaikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement