Rabu 15 Jul 2020 08:50 WIB

Media Sosial, Dirindu Tapi (Tak) Dibenci Politisi

Sundaram mengindentifikasi setidaknya ada 10 sisi buruk media sosial.

Makroen Sanjaya, Digital Defender/Pengajar Ilmu Komunikasi UMJ
Foto: dokpri
Makroen Sanjaya, Digital Defender/Pengajar Ilmu Komunikasi UMJ

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Makroen Sanjaya (Digital Defender/Pengajar Ilmu Komunikasi UMJ).

Syahdan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, menerobos ruang publik media sosial, akhir pekan lalu. Mengenakan busana batik merah bermotif budaya Betawi, Gubernur Anies bicara kepada khalayak tentang apa yang disebut publik sebagai “reklamasi diam-diam di kawasan Ancol.”

Sehari kemudian, Ahad, 12 Juli 2020, video kedua dengan topik berbeda, juga berselancar di dunia maya. Pada video kedua, Gubernur Anies dengan setting yang sama, kantor Gubernur DKI Jakarta, tapi dengan busana warna putih polos, menjelaskan tentang lonjakan kasus Covid-19 di wilayahnya. Kedua video itu diunggah di Instagram akun @aniesbaswedan dan laman Facebook akun terverifikasi (tanda contreng) Anies Baswedan. 

Layaknya ‘hukum’ algoritma yang berlaku di media sosial, video pertama Gubernur Anies tentang isu reklamasi, yang juga banyak dibahas di laman media sosial sejak beberapa hari sebelumnya, paling banyak mendapat engagement dari warga internet (netizen).

Hingga hari keempat, Selasa (14/7/2020), video isu reklamasi di Facebook dibagikan sebanyak 15.965 kali dengan like 41.795 dan komentar 5.439. Sedangkan di Instagram dipirsa 809 ribu kali, dengan 7.322 komentar. Secara demografis, video Gubernur Anies sukses menyasar publik segala usia untuk Facebook, dan lebih besar lagi khalayak milenial di Instagram. 

Lepas dari validitas konten video itu, tindakan komunikatif (communicative act) Gubernur Anies ini, sekonyong mengundang prasangka. Sebab, video itu sengaja hanya diunggah di media sosial, bukan materi virtual press conference, sebagaimana yang kerap dilakukan selama pandemi Covid-19. Pun, seperti yang menjadi fenomena “anomali” akhir-akhir ini, media arusutama akhirnya “mengekor” media sosial.

Bukan sebaliknya, media sosial yang seharusnya “mengekor” media arusutama. Mengapa sebagian aktor politik, termasuk Gubernur Anies, seolah “lebih nyaman” mendiseminasi, atau bahkan menyanggah (debunking) terhadap isu  “reklamasi jilid baru” itu media sosial, ketimbang media arusutama (mainstream)? Bukankah berkomunikasi di media sosial berisiko? Seberapa signifikansi penggunaan media sosial (media employ) dalam komunikasi politik?

Manfaat dan Mudharat

Awam memahami bahwa media sosial laksana “hutan belantara” yang dipenuhi binatang buas, alam yang ganas, dan cenderung menyesatkan jika seseorang tidak menggunakan kompas. Salah seorang penemu media sosial melalui terma komunitas virtual (virtual community), salah seorang “bapak internet”, Howard Rheingold, bahkan risau dan gamang, menilai keberadaan media sosial akhir-akhir ini.

"Kita memiliki semua kekuatan di ujung jari kita. Tetapi telah terjadi ketidakpastian kritis, tentang apakah media sosial  akan menjadi ‘apa saja’ untuk jangka panjang? Ada banyak hal buruk. Banyak spam, porno, spam-porno, informasi buruk, informasi yang keliru (misinformasi), informasi menipu, orang jahat, dan kejahatan. Seolah tumpukan sampah,” kata Rheingold dalam wawancaranya dengan Regine Luttrell, penulis buku Social Media. How to Engage, Share and Connect (2015).

Ikhwal sisi buruk media sosial, sudah diurai sejumlah pakar dari seantero jagat. Tapi yang lebih terperinci diurai Adjith Sundaram dalam jurnal berjudul The Dark Side of Social Media: A Reality Becoming More Contemporary by the Day (2017). Sundaram mengindentifikasi setidaknya 10 sisi buruk media sosial. Ke-10 wajah buram itu meliputi: media sosial membuat bodoh, anti-sosial, sempit visi, mental tidak sehat, menghancurkan daya ingat, manipulatif, mempromosikan terorisme, sensasional, membanting privasi dan kreativitas, dan menginspirasi perundungan (bullying). 

Akademisi Jennifer Edwards dari Tarleton State University mengingatkan, Facebook, Twitter dan situs web lainnya, juga dapat menghambat karier profesional. “Kecelakaan karier akibat media sosial adalah hal biasa di era Facebook. Profesional seperti atlet, politisi, pengacara, guru, dan profesional lainnya tidak kebal terhadap implikasi karier yang berpotensi negatif dari media sosial,” demikian Edwards dalam Wreckers Social Media dalam Encyclopedia of Social Media and Politics (2013). 

Tapi media sosial bukan saja memberi mudharat (tidak menguntungkan) semata, tapi menyediakan banyak manfaat. Khusus di lapangan politik, kontribusi besar yang disuguhkan media sosial adalah penggeseran keseimbangan kekuasaan antar-kandidat dan pemilih, dan hubungan antara pemerintah dan warga negara. Sebagaimana yang terjadi pada Revolusi Musim Semi di Arab (Arab Spring).

“Banyak cendekiawan memuji sifat media sosial, seperti Facebook dan Twitter, dalam konteks Arab Spring, yang memicu pemberontakan yang berakibat menggulingkan pemerintah Mesir, Libya, Yaman dan Tunisia, yang diberdayakan media sosial,” demikian Inggrid Sturgis dari Howard University dalam artikel Social Media Optimation (2013). 

Mantan Gubernur Vermont, AS, Howard Dean, tercatat sebagai orang pertama yang menggunakan media sosial dalam politik praktis. Dean dalam rangka pencalonan presiden Demokrat 2004, menggunakan metode optimasi media sosial (SMO) melalui platform Meetup.com.

Media sosial generasi awal berbentuk blog itu, digunakan Dean untuk menggalang dukungan, mendorong minat pemilih, rekrutmen tim penyokong, dan memotivasi para sukarelawan. Empat tahun kemudian, menjadi koin di ranah politik biang demokrasi, AS. Menurut studi yang dilakukan Pew, jumlah orang yang mendapatkan berita dan informasi dari media sosial lebih dari dua kali lipat. Kandidat Partai Demokrat, Hillary Clinton, Barack Obama, dan John Edwards, mendeklarasikan pencalonannya secara online, untuk pertama kalinya. 

Sturgis menguraikan, semakin banyak politisi yang mulai memanfaatkan media sosial seperti Facebook, Twitter, dan blog untuk terhubung dengan konstituennya, sekaligus menantang lawan. Barack Obama, seorang aktivis komunitas, mendapat kredit, dengan mengambil keuntungan dari mengatur diri sendiri upaya akar rumput untuk menurunkan biaya pembangunan merek politik dan untuk menciptakan koneksi dan keterlibatan.

Obama memanfaatkan media sosial untuk membangun alat kampanye dengan biaya yang efektif, melampaui tradisional jaringan politik. Dia mengoptimalkan informasi dengan mempertahankan profil di 15 komunitas online strategis, termasuk AsianAve.com, MiGente.com, BlackPlanet.com, Myspace, Facebook, Eons (situs untuk baby boomers), LinkedIn, dan Twitter. Chris Hughes, salah seorang pendiri Facebook, membuat situs untuk Obama bernama MyBarackObama.com, yang meniru beberapa fitur Facebook.

Media sosial, juga membantu “membangun kehidupan” bagi banyak warga dunia. Regina Luttrell (2015) menguak fakta bahwa satu dari pernikahan warga dunia, terjadi berkat dipertemukan oleh Facebook melalui fitur pertemanan.

“Sepertiga wanita berusia 18 hingga 34 tahun membuka Facebook ketika bangun tidur, bahkan sebelum ke kamar mandi. Jika Facebook adalah sebuah negara, akan menjadi yang terpadat ketiga di dunia berdasarkan jumlah basis penggunanya. Orang dewasa yang menggunakan Twitter secara aktif menjadikannya sebagai sumber paling tepat waktu untuk acara berita. Sebagian besar melampaui media arusutama,” demikian Luttrell dalam Social Media. How to Engage, Share and Connect (vii).

Dirindu atau Dibenci?

Kendati setumpuk “prestasi” media sosial di lapangan politik telah dipertontonkan dengan gambling, namun dua peristiwa politik penting di tahun 2016, seakan menjadi titik balik reputasi media sosial. Pemantiknya adalah serangkaian penyalahgunaan media sosial dalam perebuatan kekuasaan (power struggle), yakni kampanye gerakan keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa, yang dikenal sebagai “British Exit” (Brexit) pada Juni 2016 dan Pemilu AS, November 2016.

Dengan menyewa konsultan politik Cabridge Analytica, baik penyokong Brexit maupun Presiden Terlipih Donald Trump, dituduh mencurangi sistem pemungutan suara. Mereka menggunakan analisis sistem maha data (big data), yang mampu mengidentifikasi pemilih yang dapat dibujuk (persuadable voters) dan isu-isu di mana para pemilih merasa dipedulikan. Dengan menyisir kelompok pemilih itu, Cambridge Analytica membombardir mereka dengan ‘pesan-pesan’ rayuan yang berdampak pada sikap dan pilihan mereka. Dengan cara ini, kandidat Partai Republik Trump berhasil merebut 13,5 juta pemilih tradisional Partai Demokrat.

Akibat ulah Donald Trump dalam Pilpres AS ini, oleh Nathaniel Parsley (2017) disebutnya sebagai “babak terakhir dalam disintegrasi lembaga-lembaga warisan yang telah menetapkan batas bagi politik AS di era pascaperang”. Parsley menyatakan, apa yang dilakukan Trump sama sekali belum pernah terjadi sebelumnya, dalam melanggar norma-norma politik yang sudah mapan.

Namun, kampanye semacam ini hanya bisa berhasil karena lembaga yang sudah mapan—terutama media arus utama dan organisasi partai politik—telah kehilangan sebagian besar kekuasaannya, baik di Amerika Serikat maupun di seluruh dunia. “Kekosongan yang ditinggalkan oleh lembaga-lembaga yang mengikis ini diisi oleh nasionalisme populis yang tidak bermediasi, yang dibuat khusus untuk zaman internet.”

Dengan kemenangan yang diraih dengan cara yang dianggap mengancam demokrasi itu, bukan saja menimbulkan sikap antipati dan skeptis sebagian akademisi terhadap media sosial dalam membangun peradaban, Trump pun dikecam banyak pihak. Bahkan Trump, selain disebut sebagai “pelopor” fakta alternatif sebagai pengganti frasa pasca-kebenaran (post-truth), juga dijuluki sebagai the master of spectacle 2.0 (Briziarelli & Armano: 2017). 

Pun, terhadap entitas media sosial dalam lapangan politik, cenderung “dinyinyiri” oleh sebagian pihak. Tapi, di tempo yang berbeda, media sosial, justru digandrungi para politisi, terutama di seputar masa gelaran politik, khususnya Pemilu. Setahun sebelum Pemilu misalnya, sejumlah akun politisi ramai menghuni laman-laman media sosial. Menyadari dahsyatnya media sosial secara kuantatif maupun kualitatif, para politisi membanjiri media sosial, baik dalam bentuk visual, narasi, teks maupun hiperteks. 

Seperti yang dikatakan Aeron Davis bahwa arsitektur internet (termasuk media sosial sebagai derivasinya—pen), memproduksi non-hierarkis, (bicara) “banyak ke banyak” bentuk infrastruktur komunikasi. “Dibanding media lama (old media), media baru (new media) relatif murah, mudah diakses dan menawarkan jumlah ruang, saluran dan forum yang tidak terbatas,” kata Davis dalam buku Political Communication. A New Introduction for Crisis Times (2019: 172). Karena murah, mudah diakses, menyediakan ruang, saluran dan forum tak terbatas, maka media sosial, “anak keturunan” teknologi web 2.0, menjadi diincar banyak politisi.

Karena itu, politisi manapun, termasuk Gubernur Anies Baswedan, bukan serba kebetulan, jika memilih kanal atau saluran media sosial, sebagai ruang dan forum untuk mendiseminasi informasi sesuai versi dan kepentingannya.  Jikapun pada media sosial banyak sisi gelapnya, seperti yang digambarkan salah seorang penemu media sosial, Howard Rheingold, “kritik hanya bisa memberi tahu Anda bahwa ada sesuatu yang rusak. Tapi itu tidak memberi tahu Anda cara memperbaikinya. Saya pikir cara memperbaikinya adalah pendidikan dan lebih banyak orang belajar, bagaimana menggunakan media (sosial) ini secara produktif, efektif, dan penuh perhatian.”

Kata kunci adalah pendidikan dalam arti luas, khususnya literasi digital, yakni keterampilan individu dalam menulis, membaca, berbicara, dan khususnya menggunakan media sosial secara bermartabat.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement