Selasa 14 Jul 2020 17:18 WIB

Humor Gus Dur: Mahasiswa Perantau Terlupa Nasihat

Kisah mahasiswa terlupa nasihat kepada sang anak

Presiden Abduurahman Wahid (Gus Dur) semasa muda tengah mengetik artikel.
Foto: Google.com
Presiden Abduurahman Wahid (Gus Dur) semasa muda tengah mengetik artikel.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh: Fachry Ali MA, Pengamat Sosial Keagamaan

Jangankan pada 1980-an, awal 1990-an, Clayton, Melbourne adalah daerah sunyi. Di musim dingin, kita akan merasa ada di dunia jika ada orang lewat di halaman depan rumah barang satu atau dua orang. Kesunyian ini tidak bisa dikompensasi dengan pergi ke pasar atau mall atau toko swalayan. Sebab, toko-toko tutup pada pukul 08.00 malam.

Akhir pekan justru puncak kesunyian, karena ‘ekonomi’ tidak bergerak. Toko-toko tutup semua.
Ini berkaitan deng politikan. Partai Buruh selalu menang dalam kontestasi politik di negara bagian Victoria. Karena ada kecenderungan ‘memanjakan’ kaum pekerja, maka pihak yang menang tidak mau mengeksploitasi kaum pekerja. Mereka, demikian asumsi yang dikemukakan, harus punya waktu istirahat dan kumpul bersama keluarga.

Maka, inilah yang menyebabkan toko-toko tutup pada Sabtu dan Ahad.
Maka, setiap mahasiswa baru, terutama yang ditempatkan di asrama Normanby di belakang kampus, kesunyian ini sangat menyiksa. Saya pernah mendptkan sebuah sajak mahasiswa Indonesia yang mengungkapkan kepedihan akan kesunyian ini.

Sajak itu, bersama beberapa bahan pelajaran dibuang begitu saja —ketika sang mahasiswa hendak kembali ke Indonesia. Karena mungkin itulah pertama kali ia membuat sajak, isinya sangat kentara mengungkapkan kerinduan kepada keluarga di tahun awal berada di asrama Normanby.

Dan ketika sajak itu ditulis, Ibnu Wahyudi, dosen Fak Sastra UI belum datang ke Clayton. Jadi, ia tidak sempat mengkonsultasikannya kepad Ibnu Wahyudi tentang bagaimana membuat sajak apik.

Dalam keadaan beginilah, sepertit diceritakan Mohamad Shobary kepada saya, seorang mahasiswa yang sudah senior gelisah dan bermurung durja. 
Daripada kita selalu menjadi ‘konsumen’ guyonan Kiai Abdurrahman Wahid, maka biar sekali-kali kita bercerita, sang kiai yg tertawa.

Dan memang benar, ketika apa yang diceritakan Shobary itu saya sampaikan, Kiai Abdurrahman Wahid tertawa mengakak. Bagaimana ceritanya? Begini kisahnya:

Amasl telah begitu rindu kepada keluarga, maka sang mahasiswa di atas menyiapkan uang 20 dolar Australia untuk menelpon. Uang itu dipecah dalam keping receh 2 dolar Australia. Dengan cara ini, ia bisa menyambung telpon dengan memasukkan koin receh 2 dola rAustralia setiap telepon hendak terputus.


Setelah berbicara dengan isteri secukupnya, tibalah gilaran ia bicara dg empat putra-putrinya. Dan tiap anak selalu mendapat nasihat penutup. Bunyinya begini: ‘Sinau sing mempeng. Ajo lali shalat.’

Dan ini tentunya diucapkan berulang. Karena terlalu sering dan tak lagi konsentrasi, akhirnya sang mahasiswa tak lagi sadar. Dan inilah nasihat yang diberikan kepada anak yang mendapat giliran bicara terakhir ditelpon itu: ‘Sinawu sing mempeng. Ajo shalat!’

                                   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement