Selasa 14 Jul 2020 17:09 WIB

Aktivis Tuntut Izin Reklamasi Ancol Dicabut

Ada ketidaksesuaian fakta dan sejumlah pelanggaran dalam pelaksanaan reklamasi Ancol.

Rep: Amri Amrullah / Red: Ratna Puspita
[Ilustrasi] Pengendara melintas di atas lahan hasil reklamasi Ancol di Jakarta, Sabtu (11/7/2020). Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 237 Tahun 2020 tertanggal 24 Februari 2020 tentang izin pelaksanaan perluasan kawasan rekreasi Dunia Fantasi seluas 35 hektar dan Taman Impian Jaya Ancol Timur seluas 120 hektar sebagai upaya melindungi warga Jakarta dari banjir.
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
[Ilustrasi] Pengendara melintas di atas lahan hasil reklamasi Ancol di Jakarta, Sabtu (11/7/2020). Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 237 Tahun 2020 tertanggal 24 Februari 2020 tentang izin pelaksanaan perluasan kawasan rekreasi Dunia Fantasi seluas 35 hektar dan Taman Impian Jaya Ancol Timur seluas 120 hektar sebagai upaya melindungi warga Jakarta dari banjir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para Aktivis lingkungan yang bergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menuntut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut izin reklamasi Ancol, yang tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) nomor 237 tahun 2020. Tuntutan pencabutan izin reklamasi Ancol ini karena ditemukan ketidaksesuaian fakta dan sejumlah pelanggaran dalam pelaksanaan reklamasi Ancol.

Salah satu komponen dari Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta dari KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia), Marthin Hadiwinata, mengatakan Gubernur Anies diam-diam mengeluarkan Kepgub 237 tahun 2020 untuk menambah luas area reklamasi jadi 155 hektare. Padahal selama ini, penimbunan telah berjalan dan sudah menambah luas kurang lebih 20 hektare.

Baca Juga

Ia menjelaskan Anies mengeluarkan Kepgub no. 237 itu pada 24 Februari 2020. Namun dalam konsiderans izin pelaksanaan tersebut, Anies telah memberikan izin prinsip proyek tersebut pada 24 Mei 2019. 

Dalam perjalanannya PT Pembangunan Jaya Ancol diminta untuk melengkapi kajian teknis terlebih dahulu seperti Amdal, kajian penanggulangan banjir, pengambilan material, dan beberapa kajian lainnya. "Karena itu, kami Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menilai penerbitan izin tersebut sarat dengan masalah," kata dia kepada wartawan, Selasa (14/7).

Ia melihat ada empat temuan, sehingga menjadi alasan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI perlu membatalkan izin reklamasi Ancol ini. Pertama, Pemprov DKI berupaya mengelabui publik dengan menerbitkan izin secara diam-diam pada Februari 2020 dan menyatakan proyek tersebut bukan merupakan reklamasi. 

"Padahal jika merujuk pada ketentuan UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, perluasan wilayah Ancol dengan mengonversi wilayah laut pesisir menjadi daratan jelas merupakan reklamasi," tegasnya.

Kedua, lanjut dia, Pemprov DKI Jakarta melanggar ketentuan UU Pesisir dan Pulau Kecil dan juga Peraturan Presiden No 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Selain tidak memasukannya sebagai dasar hukum penerbitan izin dalam bagian menimbang, Pemprov DKI juga melanggar ketentuan reklamasi di dalamnya sebab tidak didasarkan pada Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). 

Padahal, kesesuaian dengan Perda RZWP3K merupakan syarat untuk dapat terbitnya izin pelaksanaan reklamasi. Ia menduga ada pelanggaran pidana tata ruang dari ketiadaan dasar hukum perencanaan ruang tersebut.

Dasar hukum ini sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Sanksi pidana tersebut dapat berupa penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta rupiah, serta pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.

Ketiga, lanjut dia, penerbitan izin juga diduga kuat tidak memenuhi syarat administrasi formil maupun substansial terhadap perlindungan dan pengelolan lingkungan. Beberapa kewajiban persyaratan yang diatur seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Surat Kelayakan Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan ataupun rencana induk reklamasi harus dipenuhi sebelum penerbitan izin pelaksanaan tersebut terbit. 

"Namun, beberapa kewajiban lingkungan tersebut justru baru diamanatkan dalam Kepgub 237/2020 tersebut. Hal ini patut untuk di tindaklanjuti dengan penegakan hukum pidana atas dugaan tiadanya izin lingkungan dalam kegiatan penimbunan yang telah berjalan sejak 2009 sebagaimana diatur dalam Pasal 109 UU No. 32/2009 tentang Lingkungan Hidup paparnya. 

Keempat, ungkap Marthin, reklamasi Ancol merupakan bentuk perampasan laut berupa konversi kawasan perairan yang merupakan milik bersama publik menjadi konversi dalam bentuk komersialisasi ruang pesisir yang akan merugikan nelayan tradisional dan merusak lingkungan hidup. 

Sebelumnya, Anies mengatakan, pelaksanaan Reklamasi Ancol ini berbeda dengan reklamasi 17 pulau yang sebelumnya telah dihentikan karena melanggar aturan dan AMDAL. Area Reklamasi Ancol, sebut Anies merupakan kawasan yang sebelumnya dijadikan tempat penimbunan tanah hasil pengerukan 13 sungai dan lebih dari 30 waduk di Jakarta. 

Hal itu sudah berjalan lebih dari 11 tahun. "Jadi ini adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah banjir Jakarta," ujar Anies.

Anies mengklaim reklamasi atau penimbunan tanah yang dilakukan di kawasan timur Ancol ini tidak merugikan nelayan. Sebab, penimbunan tanah tidak berhadapan dengan kampung nelayan, sebagaimana empat pulau reklamasi lain di Kapuk Muara dan Muara Angke yang kini telah dibangun dan dihentikan pengerjaannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement