Selasa 14 Jul 2020 14:20 WIB

Memaksakan Pilkada 2020 di Tengah Pandemi

Pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah pandemi terlalu dipaksakan.

Rep: Retizen/ Red: Elba Damhuri
Pilkada (ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan
Pilkada (ilustrasi)

RETIZEN -- Penulis: May Siti Maryati*

Pilkada serentak yang dijadwalkan akan digelar pada 9 Desember mendatang akan tetap terlaksana meskipun masa pandemi Covid-19 masih berlangsung.

Keputusan ini dipastikan akan menimbulkan beberapa persoalan di antaranya risiko penyebaran wabah yang akan meningkat lagi. Lalu tambahan anggaran yang tidak sedikit karena harus menyediakan alat perlindungan diri dan kelengkapan protokol pencegahan covid dan lainnya.

Walau demikian pemerintah punya alasan kuat agar tetap melanjutkan agenda pilkada serentak nanti yaitu agar tidak banyak kekosongan pejabat. Dan jika ada penundaan lagi maka akan mengorbankan ekonomi lebih banyak, serta alasan lain.

Di tengah buruknya penanganan Covid-19 dan ekonomi sedang terpuruk tentu menjadi pertanyaan masyarakat, kenapa pemerintah tetap ngotot melanjutkan pilkada 2020 nanti ?

Melihat kenyataan perjalanan demokrasi di Indonesia selama ini tidak membawa kesejahteraan untuk rakyat. Banyak oknum pejabat pemerintah terlibat korupsi, suap menyuap dan segala model transaksi politik yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu dan merugikan rakyat. 

Hal ini karena mekanisme demokrasi (pilpres, pilkada dan lainnya) yang selalu diawali dengan politik uang. Para calon pemangku jabatan dihantarkan oleh sponsor (parpol diantaranya) dengan sejumlah upeti untuk meraih kursi yang diinginkan. 

Setelah itu akhirnya mereka sibuk mengembalikan uang kepada pihak sponsor serta memperkaya diri dan keluarga, dan melupakan rakyat. 

Tidak salah jika rakyat berpikir bahwa pilkada 2020 mendatang dipaksakan karena untuk melanggengkan sistem kriminal yang akan menghasilkan legitimasi perampokan kekayaan negara dan penyengsaraan nasib rakyat.

Mekanisme seperti ini justru tidak dikenal dalam sistem Islam. Parpol pengusung mengantarkan pemimpin untuk menerapkan Islam secara kaffah. 

Bahkan keberadaannya sebagai pengoreksi kebijakan yang menyimpang dari hukum syara. Itulah esensi dari kedaulatan di tangan syara, satu-satunya yang dapat mengendalikan dan mengontrol negara adalah hukum syara. Wallahu'alam bishowab.

*May Siti Maryati, Bogor, Jawa Barat

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement