Senin 13 Jul 2020 15:42 WIB

Jangan Mau Jadi Laki-Laki, Berat!

Mungkin benar, laki-laki memang cenderung bodoh dalam berperasaan.

Perempuan menangsis. Foto: Ilustrasi.
Foto: Antara/Ampelsa
Perempuan menangsis. Foto: Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, Sebagai perempuan, saya sangat mengagumi laki-laki. Terlepas dari pro-kontra dan berbagai catatan kaki untuk deretan jurnal ilmiah yang menyatakan kecenderungan perempuan dalam merasa dan laki-laki dalam menalar, secara subjektif saya setuju dengan pernyataan tersebut. Saya merasakan sendiri, betapa laki-laki di sekeliling saya dengan logisnya begitu piawai meluruskan masalah yang sering kali timbul lantaran kekeliruan saya dalam menuruti perasaan.

Laki-laki, dengan berbagai latar belakang mereka, seakan dapat memelajari dengan cepat berbagai cara demi memahami lawan jenisnya. Semakin banyak pengalamannya seiring membengkaknya usia, semakin luas pula cakrawala pengetahuannya dalam menghubungkan satu masalah dengan masalah lain secara objektif.

Mungkin benar, laki-laki memang cenderung bodoh dalam berperasaan. Namun, justru kekurangan itulah yang kemudian menjadi katalisator mereka dalam menjalankan nalar lebih dari perempuan paling nalar mana pun.

Saya sampai penasaran, dari mana mereka memelajari itu semua? Mulailah akal saya usil menerka, tempat-tempat mana saja yang sekiranya sering mereka sambangi tetapi tidak dengan perempuan. Sebagai salah satu pemeluk agama mayoritas, yang pertama terlintas dalam benak saya adalah masjid.

Semakin hari, semakin marak anak muda yang meramaikan masjid. Meski banyak pula aktivitas masjid yang dapat diikuti perempuan (akhwat), namun intensitasnya tidak sampai melebihi kaum laki-laki (ikhwan) yang memang diwajibkan beribadah setidaknya lima kali dalam sehari di tempat itu.

Sebagai orang yang senang berdiskusi dan bertukar pikiran, jujur saya iri. Bagaimana bisa mereka seberuntung itu, memiliki kesempatan lima kali dalam sehari untuk bertemu orang-orang baru yang sepemikiran? Dari yang muda sampai yang tua, kaya sampai yang miskin, berpendidikan atau pun yang tidak, jomlo, menikah, cerai hidup, cerai mati, semua bisa berkumpul dalam waktu bersamaan di tempat yang sama. Prosesi ibadah yang normalnya tidak akan memakan waktu lebih dari sepuluh menit menyisakan waktu-waktu istirahat untuk mereka duduk bersisian dan membicarakan banyak hal.

Atau mungkin, di tongkrongan? Saat ini, dengan semakin menjamurnya warung kopi, tongkrongan dengan rentang bujet yang kian melebar turut memberi andil dalam menjangkau pelanggan dari lebih banyak latar belakang. Berbeda dengan mereka, hampir tidak ada perempuan yang sanggup nongkrong berjam-jam hingga larut malam hanya untuk menghabiskan sebungkus puntung rokok atau sekadar mencari pelarian demi melepas penat.

Bahkan, salah satu teman laki-laki saya yang terlihat begitu menggilai kopi, mengakui sendiri betapa esensi sebenarnya dari aktivitas ‘ngopi’ tidak terletak pada cangkir-cangkir kopi yang dihidangkan. Namun kesempatan yang muncul untuk dapat duduk dalam satu frekuensi ketika sama-sama menghabiskan isi cangkir tersebut.

Apakah mereka memupuk nalar di saat-saat seperti itu? Bukankah orang-orang yang mampu berkelompok menandakan bahwa mereka mampu mengesampingkan ego dan perasaan pribadi? Namun, semakin berumur saya juga menemukan tipikal laki-laki yang enggan berada dalam keramaian, tetapi tetap memiliki nalar yang sama kuatnya.

Akhirnya, saya menyerah. Barangkali, hal ini memang menjadi satu dari banyak

rahasia semesta dalam menjaga keselarasan hidup antarmanusia agar tetap stabil.

Namun, semakin saya perhatikan, semakin saya dibuat terpesona. Bagaimana

mungkin, bahkan mereka yang perawakannya tidak lebih jangkung dari saya mampu mengangkat beban berkali-kali lebih berat. Terbuat dari apa lengan dan dua kaki mereka?

Abi, adik laki-laki, hingga teman laki-laki saya bahkan terlihat tidak mungkin sakit meski kehujanan. Mereka juga tidak terganggu meski tersengat panas matahari. Umumnya, mereka akan menuruti semua yang diinginkan orang-orang terkasihnya meski pada akhirnya merugikan diri sendiri. Hingga ketika saya semakin beranjak dewasa, Ummi memberi saya sedikit bocoran atas keajaiban ini:

Apa yang menurut kamu berat, bagi mereka juga sama beratnya. Hujan juga mampu menurunkan imunitas mereka sebagaimana manusia pada umumnya. Panas matahari yang membuatmu tidak nyaman juga sama mereka rasakan demikian.

Demi mewujudkan keinginanmu, banyak yang harus mereka korbankan. Namun, sampai kapan pun mereka tidak akan mengeluhkan hal tersebut, setidaknya di hadapanmu. Kalau sudah begitu, kamu yang harus pintar-pintar menyadarinya. Terkadang, mereka bahkan sanggup melupakan diri sendiri.

Saya terdiam. Jika memang demikian, tidak salah jika suatu hari nanti saya akan jatuh hati setengah mati pada salah satu dari mereka.

Ketika menikah, mereka mengambil alih satu tanggung jawab maha besar dari laki-laki sebelumnya, tanggung jawab seorang ayah atas putrinya. Mereka bekerja memertaruhkan segala yang ada demi penghuni istana kecilnya.

Tidak hanya di dunia saja mereka akan diadili ketika anak-istrinya kelaparan, luntang-lantung tanpa memiliki tempat berteduh, atau sakit lantaran pakaian yang tidak cukup tebal menghalau dingin. Sampai akhirat pun, mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas sholat anak-istrinya, makanan haram yang tumbuh menjadi daging dalam tubuh keluarganya, hingga setiap helai rambut yang mencuat dari balik hijab perempuannya.

Beban yang demikian berat harus sanggup mereka tanggung sendiri ketika istri yang dipilihnya dengan penuh pertimbangan menolak menjaga rumahnya selama ia bekerja untuk satu alasan egosentris: aku berhak memilih, aku cerdas dan ingin berdaya.

Pekerjaan ini memerlukan orang sepertiku. Padahal, mereka sendiri jauh lebih memerlukan rekan yang cerdas untuk mendampingi tumbuh-kembang keturunannya, memfilter harta yang diperolehnya agar tidak secuil pun daging haram tumbuh di rumahnya. Memastikan keluarganya selamat dari api neraka sebab dirinyalah yang akan pertama kali terpanggang jika sampai hal buruk itu terjadi.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement