Senin 13 Jul 2020 08:00 WIB

KPK: Kepala Daerah Jangan Poles Citra Bonceng Dana Corona

Tak sedikit oknum kepala daerah petahana bermodalkan sticker foto mendompleng bansos.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Ketua KPK Firli Bahuri
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Ketua KPK Firli Bahuri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jelang Pilkada serentak pada 9 Desember 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima laporan sejumlah oknum kepala daerah yang mengambil kesempatan untuk meningkatkan citra diri di hadapan masyarakat, dengan 'membonceng' penggunaan dana penanganan Covid-19 dari pemerintah pusat. Dana penanganan Covid-19, dijadikan sarana sosialisasi diri atau alat kampanye, seperti memasang foto mereka pada bantuan sosial kepada masyarakat yang terkena dampak pandemi ini. 

"Tidak sedikit informasi perihal cara oknum kepala daerah petahana yang hanya bermodalkan selembar sticker foto atau 'spanduk raksasa', mendompleng bantuan sosial yang berasal dari uang negara, bukan dari kantong pribadi mereka, yang diterima KPK," kata Ketua KPK Firli Bahur dalam pesan singkatnya, Ahad (12/7).

photo
Wali Kota Depok, Mohammad Idris dikritik sejumlah kalangan karena dianggap tidak serius mangatasi penanggulangan penyebaran pandemi virus Corona (Covid-19) di Kota Depok. Terutama terkait pengunaan anggaran, pembentukan Kampung Siaga Covid-19 disetiap RW dan dinilai memanfaatkan situasi sosialisasi pencegahan Covid-19 dengan tebar pesona atau diduga kampanye terselubung untuk Pilkada Depok. - (Republika/Rusdy Nurdiansyah)

Firli mengatakan, selain tidak elok dilihat, hal ini tentunya telah menciderai niat baik dan kewajiban pemerintah membantu rakyat dimasa seperti ini. Oleh karenanya,  diperlukan kehadiran penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sejak dini. 

Hal itu, untuk mengingatkan dan memberi sangsi para pejawat yang menggunakan program penanganan pandemi Covid-19 seperti bansos untuk pencitraan diri, yang marak terjadi jelang pilkada serentak, yang tinggal menghitung hari. Sanksinya bisa sampai pembatalan dirinya sebagai calon seperti termakjub pada Pasal 71 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang berbunyi "Kepala daerah dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang 

menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan paslon sampai dengan penetapan paslon terpilih."

"Saya himbau kepada kepala daerah yang kembali ikut kontestasi pilkada serentak Desember 2020, stop poles citra Anda, dengan dana penanganan Covid-19," tegas Firli.

Firli menambahkan, penyalahgunaan juga bisa dilihat dari besar kecilnya permintaan anggaran penanganan Covid-19, di wilayah atau daerah yang ikut menyelenggarakan Pilkada serentak.  Beberapa kepala daerah yang berkepentingan untuk maju, kami lihat mengajukan alokasi anggaran Covid-19 yang cukup tinggi. "Padahal, kasus di wilayahnya sedikit," tutur Firli.

Firli menambahkan, ada pula kepala daerah yang mengajukan anggaran penanganan Covid-19 yang rendah, padahal kasus di wilayahnya terbilang tinggi. Hal itu terjadi karena sang kepala daerah sudah memimpin di periode kedua, sehingga tidak berkepentingan lagi untuk maju.

"Saya ingatkan, jangan main-main. Ini menjadi perhatian penuh KPK. Terlebih dana penanganan Covid-19 sebesar Rp. 695,2 triliun dari APBN maupun APBD, adalah uang rakyat yang harus jelas peruntukannya dan harus dapat dipertanggung jawabkan penggunaannya," tegas Firli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement