Selasa 14 Apr 2020 08:17 WIB

Indonesia Mutlak Harus Punya Obat dan Vaksin Sendiri

ndonesia tidak bisa mengandalkan vaksin dari negara lain.

Dradjad Wibowo
Foto: republika/joko sadewo
Dradjad Wibowo

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dradjad H. Wibowo, Ketua Dewan Pakar PAN dan Ekonom Senior Indef

Saya sering sampaikan betapa krusialnya tes COVID-19 yang masif dan cepat. Kasus baru-baru ini di Ciseeng, Kabupaten Bogor adalah contoh alasannya.

Salah satu warga Ciseeng meninggal, diduga jantung. Mungkin karena gejala klinisnya, dokter melakukan tes swab. Pada hari ke-8 setelah pemakaman baru diketahui almarhum positif corona. Padahal pemakaman terlanjur dilakukan tanpa prosedur COVID-19. Keluarga dan tetangga sekampung juga tahlilan. Mereka sekarang menjadi ODP.

Di Ciseeng Bogor yang dekat sekali dengan Jakarta perlu 8 hari. Bagaimana dengan daerah lain yang jauh?

Hanya karena lambatnya tes, banyak sekali orang yang bisa tertular. Termasuk tentunya dokter, perawat dan tenaga non-medis rumah sakit.

Jadi sekali lagi, tes tes dan tes. Sebanyak mungkin, secepat mungkin.

Dengan kinerja tes seperti itu, jumlah pasien COVID-19 di Indonesia bisa banyak sekali. Kecuali, ada mu’jizat dari Allah, entah melalui panas dan hujan, atau rahasia-Nya yang lain.

Repotnya, kapasitas pelayanan kesehatan kita pun sangat terbatas. Jumlah dan kualitas ruang isolasi, APD, ventilator dan sebagainya terbatas.

Karena itu, sangat mutlak bagi Indonesia untuk punya obat dan vaksin sendiri. Ini harga mati.

Indonesia tidak bisa mengandalkan vaksin dari negara lain. Jumlah penduduk dunia saat ini hampir 7,8 milyar. Permintaan global terhadap vaksin corona akan berjumlah milyaran.

Negara maju penemu vaksin tentu lebih memrioritaskan warganya. Harganya pun bisa mahal. Padahal minimal 163 juta penduduk Indonesia harus divaksinasi untuk mencapai herd immunity.

Itu baru vaksin SARS-CoV-2.  Dengan kecepatan mutasi berbagai virus corona, bisa jadi diperlukan beberapa jenis vaksin dan obat.

Jangan lupa, saat ini sebagian ilmuwan sudah memikirkan bagaimana lanskap global paska corona atau AC (after coronavirus). Misalnya, otomasi dan robotisasi akan semakin menguasai proses produksi.

Pelayanan kesehatan, farmasi, biologi, industri alat kesehatan, asuransi kesehatan dan bisnis terkait lainnya akan semakin penting.

Di sisi lain, Indonesia kaya biodiversitas sebagai bahan obat dan vaksin. Ini keunggulan komparatif kita, yang selama ini sering dirusak tidak lestari.

Mengenai obat, Indonesia sudah ikut Solidarity Trial-nya WHO. Ada 4 obat yang dicoba, yaitu remdesivir, klorokuin atau hidroksiklorokuin, kaletra (kombinasi lopinavir + ritonavir) dan kaletra + interferon beta.

Indonesia lebih banyak memakai klorokuin. Saya belum tahu bagaimana efeknya terhadap tingkat fatalitas COVID-19. Jika obat lain ternyata lebih efektif, tentu Indonesia harus impor lagi.

Jadi, mempunyai obat dan vaksin sendiri itu sinergi kebijakan kesehatan dan ekonomi yang sangat mendesak. Karena itu saya usul, sediakan dana yang besar bagi penemuan dan produksi obat dan vaksin. Gerakkan BUMN kesehatan dan farmasi, berbagai riset berbasis biologi, para ilmuwan berbagai cabang biologi, dokter peneliti dan sebagainya.

Jika kita bisa menekan wabah ini, apalagi mampu memanfaatkan peluang di balik wabah, kepercayaan terhadap perekonomian kita akan cepat pulih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement