Kamis 09 Apr 2020 06:08 WIB

Potong Birokrasi atau Desentralisasikan Tes Korona

Jika perlu, lakukan desentralisasi pemeriksaan.

Ekonom Indef Dradjad Wibowo
Foto: tangkapan layar
Ekonom Indef Dradjad Wibowo

REPUBLIKA.CO.ID,  oleh Dradjad H. Wibowo, Ketua Dewan Pakar PAN, Ekonom Senior Indef

Jumat 10 April Jakarta mulai menjalankan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Daerah lain juga meminta / menimbang mengajukan PSBB.

Tujuan PSBB adalah menekan penyebaran SARS-CoV-2 dari satu orang ke orang lain. Efektifkah?  Berikut ini dua titik lemah yang harus diatasi segera:

1. Kita tidak tahu dengan pasti berapa sebenarnya jumlah kasus positif korona di Jakarta dan Indonesia.  Dengan sangat minimnya jumlah tes, tentu ada sejumlah kasus yang tidak terdeteksi, entah berapa jumlahnya.

 

Sebagai indikasi, banyak sekali jenazah yang dimakamkan dengan prosedur COVID-19 di Jakarta, yang belum diketahui positif tidaknya. Hal yang sama bisa terjadi di daerah lain.

2. Aktifitas warga Jakarta sejak Senin 6 April terlihat masih terlalu tinggi untuk pengendalian wabah. Di daerah lain juga sama.

Tanpa tahu berapa, siapa dan di mana orang yang positif korona, sementara aktifitas penduduk masih tinggi, bagaimana bisa memotong penularan?

Jadi langkah awalnya memang deteksi dini. Tes, tes dan tes. Sebanyak mungkin, secepat mungkin.

Sayangnya, selain terlalu sedikit, tes ini justru sangat lambat. Itu salah satu keluhan Gubernur Ridwan Kamil.

Jangan dikira tes korona yang terlalu sedikit dan lambat tidak berdampak besar terhadap perekonomian. Justru dampaknya sangat besar. Dia menjadi pintu pertama, apakah wabah akan terkendali atau meledak.

Jika program tes berhasil, diikuti disiplin masyarakat dan pelayanan kesehatan yang bagus, wabah berpeluang dikendalikan. Aktifitas ekonomi dan bisnis bisa berputar kembali. Jika wabah meledak, lihat saja bagaimana Lombardia Italia.

Selain itu, tes yang cepat juga sangat penting bagi perawatan pasien. Jangan lupa, tingkat fatalitas kasus COVID-19 di Indonesia tergolong tinggi. Kita sudah kehilangan banyak SDM unggul. Mulai dari dokter/perawat, akademisi, pilot, birokrat senior hingga pengusaha sukses seperti di Semarang. Kerugian ekonominya tidak terhitung.

Sayangnya prosedur pemeriksaan yang diatur dalam Kepmenkes No. HK.01.07/Menkes/182/2020 tanggal 16 Maret 2020 cenderung sentralistis dan birokratis.

Keputusan positif tidaknya satu spesimen hanya di tangan Balitbangkes bersama Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P). Rute yang harus dilalui spesimen pun panjang. Yaitu, dari rumah sakit rujukan ke laboratorium pemeriksa, lalu ke Laboratorium Pusat Penyakit Infeksi Prof Dr Oemijati, lalu ke pimpinan Balitbangkes dan Ditjen P2P, baru kembali ke Dinkes, terus ke rumah sakit rujukan. Jika spesimen berasal dari RS non-rujukan, apalagi puskesmas, jalurnya lebih panjang lagi.

Contohnya, spesimen dari Sulut harus dikirim ke Balai Besar Laboratorium Kesehatan Makassar, lalu mengikuti jalur panjang di atas. Berapa waktu yang habis dalam perjalanan?

Belum lagi, Kepmenkes di poin 8 mengatur, seluruh pembiayaan pemeriksaan dibebankan ke DIPA masing-masing laboratorium. Lha anggaran mereka cekak, biaya tes mahal, lalu mereka bisa nge-tes berapa banyak dan berapa cepat?

Kementerian BUMN baru saja mendatangkan 18 unit Roche LightCycler dan 2 MagNa Pure LC. Keduanya alat RT-PCR (reverse transcription polymerase chain reaction) yang berstandar dunia. Ke-20 alat itu akan disebar ke RS BUMN di berbagai provinsi.

Langkah di atas patut diapresiasi. Tapi jika spesimennya dan keputusannya terhambat birokrasi, alat di atas kurang maksimal perannya.

Karena itu, potong birokrasi tes RT-PCR COVID-19 ini. Jika perlu, lakukan desentralisasi pemeriksaan. Beri pemerintah daerah anggaran COVID-19 yang cukup. Jangan beban PSBB ditimpakan ke daerah, tapi anggaran COVID-19 tersentralisasi.

Kemenkes mengoordinasikan dan mengontrol kualitas pemeriksaan.  Kita perlu cepat. Jangan birokratis di tengah ancaman wabah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement