Sabtu 11 Jul 2020 23:14 WIB

10 Ribu Gerilyawan Suriah di Libya, Gajinya Ribuan Dolar 

Gerilyawan Suriah dukungan Turki berada di Libya dengan gaji ribuan dolar.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nashih Nashrullah
Gerilyawan Suriah dukungan Turki berada di Libya dengan gaji ribuan dolar. Ilustrasi gerilyawan di Libya.
Foto: AP Photo/Hussein Malla
Gerilyawan Suriah dukungan Turki berada di Libya dengan gaji ribuan dolar. Ilustrasi gerilyawan di Libya.

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS— Lebih dari 10 ribu gerilyawan Suriah dukungan Turki bertempur di Libya bersama pemerintah Libya yang didukung PBB untuk melawan militer yang berbasis di timur, menurut pemantau perang.

Sejauh ini 16 ribu gerilyawan Suriah tiba di Libya melalui Turki. Sebanyak 5.600 di antaranya kembali ke Suriah begitu kontrak berakhir sedangkan sisanya masih berada di Libya, demikian Observatorium HAM untuk Suriah.

Baca Juga

Mereka yang kembali sedang menunggu kontrak baru untuk kembali ke Libya sebab mereka mendapatkan bayaran yang pantas di sana, katanya.

Turki memberikan gaji sebesar 2.000 dolar AS (sekitar Rp28,8 juta) setiap bulannya untuk mereka yang setuju pergi ke Libya dengan kontrak antara 3-6 bulan, tambahnya.

Sementara itu, Observatorium mengatakan, "Tujuan Turki di Libya sekarang adalah pertempuran atas ladang minyak dan Kota Sirte." 

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, memperingatkan Dewan Keamanan (DK) bahwa konflik di Libya telah memasuki fase baru, Rabu (8/7). 

Dia menyatakan, kondisi di negara itu berada di tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, karena keberadaan campur tangan asing dan tentara bayaran.

"Konflik telah memasuki fase baru dengan campur tangan asing mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk dalam pengiriman peralatan canggih dan jumlah tentara bayaran yang terlibat dalam pertempuran," kata Guterres.

Libya tenggelam dalam kekacauan setelah penggulingan pemimpin Muammar Gaddafi yang didukung NATO pada 2011. Sejak 2014, negara itu terpecah, dengan pemerintah yang diakui secara internasional mengendalikan ibukota, Tripoli, dan barat laut, sementara pemimpin militer Khalifa Haftar di Benghazi memerintah di timur. Haftar didukung Uni Emirat Arab, Mesir dan Rusia, sementara pemerintah didukung Turki. 

"Kami sangat prihatin dengan peningkatan militer yang mengkhawatirkan di sekitar kota, dan campur tangan asing langsung dalam konflik yang melanggar embargo senjata PBB, resolusi Dewan Keamanan PBB, dan komitmen yang dibuat oleh Negara-negara Anggota di Berlin," Kata Guterres. 

Guterres mengatakan, antara April hingga Juni tahun ini, misi PBB telah mendokumentasikan setidaknya 102 kematian dan 254 luka-luka dari warga sipil. Jumlah ini mengalami peningkatan 172 persen dibandingkan dengan kuartal pertama 2020.  

Sekjen PBB ini juga menyoroti, setidaknya ada 21 serangan terhadap fasilitas medis, ambulans, dan tenaga medis. Kondisi yang terus meningkat ini, membuatnya meminta DK PBB untuk mengambil tindakan atas gangguan dari beberapa pejabat nasional utama untuk audit internasional Bank Sentral Libya.

Keberadaan pasukan asing ini menyoroti laporan rahasia Mei oleh pengawas sanksi independen kepada komite sanksi Dewan Keamanan Libya. Laporan itu menyatakan, kontraktor militer swasta Rusia, Wagner Group, memiliki hingga 1.200 orang yang dikerahkan di Libya untuk memperkuat pasukan Haftar.  

Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, menolak tuduhan keterlibatan Rusia di Libya. "Tetapi kita tahu tentang personil militer negara lain, termasuk dari negara-negara yang menuduh kita, untuk hadir di tanah Libya, Timur dan Barat," katanya kepada DK. 

Sedangkan, Menteri Urusan Luar Negeri Uni Emirat Arab, Anwar Gargash, mengatakan ada sekitar 10 ribu  tentara bayaran Suriah yang beroperasi di Libya. "Sekitar dua kali lipat dari yang ada enam bulan lalu," ujarnya merujuk kepada dugaan Turki meminta bantuan milisi Suriah untuk membantu keamanan pemerintah Libya.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement